BAB 32 : SI KING


Bab 32
SI KING

Siang ini sunguh terik, matahari bersinar bagai mata pedang tajam menyengat diri, halusinasi fatamorgana menari di atas aspal jalan yang terzinahi para   debu sombong.
Andai saja hujan turun, para debu sombong itu akan terpatah sayapnya, sehingga tak kuasa terbang. Menjerit dia kembali ke bumi terinjak mati oleh para kaki manusia keji. Keji karena dia yang menginjak tapi si debu  tetap di maki karena telah mengotori sepatu hitam yang mengkilat  tersemir sang  kiwi.

Ku nikmati teriknya hari dengan hati berseri. Tak nyangka di sangka, aku sudah melakukan test sejauh ini. Ada sedikit kebanggaan tapi tercermin pula keraguan.  Apa mungkin aku yang berandalan ini, aku yang anak jalanan ini bisa seperti mereka para lelaki  ganteng, bersih, rapih dan maskulin.
Perjalanan yang panaspun segera usai. Tibalah aku di rumah. "Ku ambil gitar dan mulai memainkan, lagu lama yang biasa kita nyanyikan." Yaahhhh. Sepenggal lirik lagu hits mengantarkanku untuk mengambil gitar kesayanganku. Ku coba mengelus gitar ini, lama nian dia tak ku  sentuh. Mungkin dia rindu sentuhan jari nakalku yang liar mengerayang serampangan.
Ku nyanyikan  sebuah lagu bercerita tentang teman tapi mesra. Sejujurnya teman yang bisa di ajak bermesralah yang bisa memberikan bahagia tanpa syarat. Tak ada cemburu tak ada curiga. Bebas memilih tanpa pilihan. Ketika  di khianati, Teman mesralah yang pertama bernyali menjadi pengganti menghibur diri.   Dialah yang membuka pikiran kita bahwa masih banyak wanita yang layak di cintai. Tak perlu menGalau diri bahkan menangisi, karena hanya dengan membuka diri, akan banyak di luar sana yang siap menanti menjadi pujaan hati.
Penuh khayal tingkat tinggi, bernyanyi penuh rasa jiwa. Lagu yang  menghibur diri, semua membuatku nyaman dan senang.

Di tengah asyikku bertembang lagu mesra, suara hand phone kupun kembali berbunyi. Ku angkat dan suara wanita yang telah ku kenal memberitahukan bahwa kembali besok aku di haruskan ke kantor pramugara  untuk last interview.

Last interview ? Haahhhh sudahkah aku ada di ujung jalan ? Akankah hidupku berubah tidak susah ?Apakah pramugara ini bisa menjadikankanku lelaki yang berbangga diri ?” Aku memaku diri penuh Tanya dalam hati.

Ke esokan harinya aku bersiap diri untuk memenuhi panggilan yang mungkin akan membuatku senang. Ku panaskan si kingku tercinta, ku cuci bersih dia, ku basuh air berbusa, kugosok dan kukeringkan dengan kain  sapu tangan merah. Si kingku ini sangat setia dan mengerti aku. Dialah sahabat terdekat yang selalu menemani kemana aku pergi. Membelah hujan, menantang panas, terjebak padatnya kendaraan, menghantam lubang, dia tetap bisa membawaku ke arah tujuan.
Setelah selesai menyantap sarapan pagi mie instant berkepala surban, bercampur telur ayam, daun sawi, serbukan bawang goreng dan saos cabai merah aku segera meraungkan si kingku kembali ke jalanan membelah dinginnya pagi menuju harapan yang mungkin  indah pada akhirnya.

Hampir satu jam aku menunggangi kuda besiku. Si kingku begitu terlihat gagah hari ini. Dia bersih, mengkilat dan terlihat terawat. Maklum jarang sekali aku memandikannya sehingga dia selalu menunjukkan muka Judes dan kesal. Tibalah aku di Kantor yang berkali-kali aku kunjungi ini. Ku parkir si kingku di bawah pohon rindang nan sejuk, berharap dia nyaman menungguiku.

 "Sabar ya king, tunggu abang ya. Abang pergi tuk sesuap nasi, tak lama abang pasti kembali." Celotehku dalam hati sambil menepuk mesra  badannya.

Segeraku  menuju kamar mandi, lagi-lagi di tempat ini aku bersolek diri. Mengganti kaos hitamku  yang bergambar wanita sexi dengan kemeja cokelat bergaris hitam. Akupun tak lupa menatapkan wajahku ke cermin buram. Ku basuh dengan segenggam air berharap wajah ini berubah sedikit tampan seperti sahrul gunawan tapi tetap saja bagai tukang bajaj  mangkal  di perempatan jalan. Kaki naik ke atas kemudi, mulut mangap mengorok, mata setengah merem setengah melek, sesekali si lalat nakal hinggap menggoda kumis tebal bergaya   pagar kecamatan, rambut cepak berjambul ayam berbuntut kuda. Sungguh damai  bak hidup tenang  tanpa mengejar setoran.

Sampai bermenit aku mendesain wajah dan rambutku, tetap saja seperti ini. Aahhhh sudahlah. Memang begini adanya. Syukuri saja.
Dengan penuh percaya diri akupun melangkah tegap menuju ruang pertemuan. Ku busungkan dada, ku dongak kepala, siap menghadapi apapun yang terjadi. Beberapa kerumunan sudah ada di ruangan itu. Para wanita cantik dan pemuda gagah tampan sudah menghias ruanganan. Bila di ibaratkan isi rumah, mungkin para wanita cantik itu bagai bunga di atas meja nan indah menebar harum. Sedangkan untuk si pemudah tampan, di ibaratkan lukisan pedesaan yang indah terpampang  menyejukkan hati. Nah kehadiranku di ruangan ini mungkin hanya pantas menjadi asbak rokok atau tong sampah hitam di bawah kolong meja. Sungguh jomplang. Aku iri sama mereka, pasti hidup mereka sangat berkecukupan. Lahir dari keluarga kaya. Semua serba ada. Tak perlu berpanas ria di jalanan ibukota, hanya berjam bermain Ps di kamar AC  nan sejuk. Wajar kalo mereka terlihat bersih karena dunianya jauh berbeda. Mereka tinggal di paris, aku hanya di perempatan cimanggis.
Tak hentinya aku memperhatikan Keindahan di ruangan hebat ini. Berisikan para pemuda terpilih sampai akhirnya serombongan orang masuk ke kelas dan bersiap diri untuk menyampaikan sesuatu.
Ku tatapi satu persatu rombongan itu, mereka terlihat seperti manusia manusia yang berwibawa. Terus ketatapi bergiliran dari kanan ke kiri sampai akhirnya dia lagi dia lagi. Kammpret. Si perempuan durjana itu ada dan memasang muka angkuh tanpa senyum. Sekilas kami bertatap dan menunjukkan muka tidak senang dengan adanya aku.

"Selamat pagi teman-teman sekalian, saya mewakili perusahaan mengucapkan terima kasih atas waktu dan niat tulus teman sekalian untuk menjadi salah satu bagian dari keluarga kami. Saya mendapatkan informasi dari team rekruitment bahwa anda semua yang berada di dalam ruangan ini telah lulus seleksi dan siap menjadi Pramugari Pramugara yang siap terbang keliling indonesia dan manca Negara." Seorang pemuda perlente berbicara menyampaikan informasi yang sangat membahagiakan. Suara tepuk tanganpun bersaut paut bergemuruh. Ku lihat teman- temanku saling berpeluk berjabat saling mengucapkan selamat. Hanya aku sendiri yang tidak punya sahabat untuk di jabat tetapi aku tetap bahagia. Ku kepalkan tanganku dan ku jabatkan tangan kiri dengan kananku sendiri. Ku bersyukur dalam hati. Alhamdulilah ya Allah, Aku sudah di ujung jalan. Aku sudah ada di pintu masuk menuju dunia baru.

"Baiklah teman teman, saya ucapkan selamat datang di perusahaan kami. Persiapkan diri teman-teman untuk menghadapi training yang berat dan melelahkan. Sekali lagi terima kasih."
Pemuda yang murah senyum dan perlente itu segera berlalu di ikuti para pejabat tinggi lainnya. Tinggallah sang perempuan durjana itu sendiri dan seperti bersiap ingin menyampaikan sesuatu.

"Baiklah ini informasi penting yang harus kalian ketahui, tolong di perhatikan baik baik”.
Dia berbicara sambil memegang spidol bersiap ingin menulis sesuatu.
"Biaya yang di butuhkan untuk menjadi Pramugari dan Pramugara adalah sebesar RP.25 juta, dimana perusahaan memberikan bea siswa kepada kalian sebesar RP. 16 juta, Jadi sisanya adalah RP. 9 juta. Nah uang sebesar 9 juta inilah yang harus kalian biayai sendiri".  Semua teman-temanku tampak santai mendengar informasi ini, sedangkan aku bak jenggot pak tua terbakar puntung rokok. Bagai mendengar kabar sang miskin mendapat lotre jutaan. Aku benar - benar shock.
“Hahhh bayarku dalam  9 juta?”Tanyaku dalam hati
"Kalian tidak usah takut rugi. Uang yang kalian keluarkan 9 juta itu tidak akan seberapa di bandingkan gaji yang akan kalian dapatkan. Setiap bulan kalian bisa menerima total gaji berkisar 5-6 juta." Si durjana itu kembali menjelaskan.
Ini kedua kali aku terkaget lagi. Bukan sekedar jenggot pak tua yang terbakar, tapi si kumis keritingnya pun ikut terbakar. Bukan hanya si miskin menang lotere, tapi juga dapat bidadari cantik yang siap melayani penuh  kenikmatan setiap hari.
ini sesuatu di luar perkiraaanku. Luar biasa  gaji seorang Pramugara ini. Lima juta. Woowww. Buuueesaaaarrr sekali ( logat surabayaan ).
"Tidak hanya gaji sebesar 5  juta, kalian akan dapat asrama di perumahan yang nyaman, ada transportasi antar jemput, asuransi kesehatan dll. Gaji itu hanya untuk biaya makan kalian saja." Celoteh si durjana itu.
Aku sangat terkagum dengan besarnya gaji yang di dapat dan fasilitas lainnya. Sekarang aku  seorang kurir yang bergentayangan di jalan, cuma berpenghasilan 700 ribuan. Uang makan 10 ribu dan bensin 10 ribu. Sekarang ada  peluang di depan mata punya gaji sebesar 5 jutaaan. Manusia  tolol mana yang tidak berubah menjadi pintar apabila ada  kesempatan seperti ini. Orang gila saja masih terangsang apabila melihat wanita cantik berlalang seliweran di hadapan wajah penuh using bahkan Nyamuk saja punya nyali menghisap darah walau tamparan tangan si empunya  bisa membuatnya mati tanpa sempat berlari.
“Yaahhh. Hidup memang pilihan. Sudah waktunya aku menentukan sikap. Aku harus ambil peluang emas ini.  Tapi bagaimana dengan uang Rp. 9 juta itu?” Tanyaku penuh siksa.
Memikirkan 9 juta, otakku terus berkeliling bak hansip ronda malam memukul si pentungan  ke telapak tangan sambil berjalan tengok kanan-kiri mengintai gerak gerik orang mencurigakan. Terus berputaran mengelilingi desa. 

"Itu saja informasi yang saya sampaikan untuk hari ini. Sekali lagi selamat bergabung dan kita akan segera memulai training 4 hari dari sekarang. Silahkan semua di persiapkan dengan baik. Terima kasih." Si durjana mengucap pisah dengan gaya sombongnya, berjalan lenggak-lenggok macam  kontes putri indonesia sok kemayu. Pinggul besarnya di geol-geolkan macam penari rongeng dari karawang.
Sambil berjalan menuju parkiran motor, otakku masih terus berkelana berkeliling mencari solusi. Seperti pengembara buta dengan seekor monyet di pundakknya. Menitih jalan dengan tertatih bertopang  tongkat sakti menuju ke utara  mencari kitab suci. Halaahhh ngawur.
Sial. Empat hari saja waktu yang ku punya. Kemana ku harus mencari kemana. Uang 9 juta itu sangat banyak. Aduhhhh sungguh penat tingkat tinggi. Galau menusuk hati. Sedih membusuk di jiwa, perih hati membakar dada. Ku hampiri si kingku yang sabar menunggu. Terlintas langsung di pikiranku ketika menatap si kingku ini. Hanya dia harta yang ku punya. Haruskan ku jual Si kingku ini. Yahhh harus.
Melalui  dia aku bisa dapatkan uang itu. Segera ku  pulang dan mencoba merazia otakku agar bisaku mencari  cara  menjual si kingku  ini dengan tergesa.
 Di sepanjang perjalanan aku terus berpikir keras. Tak tegaku   menjual sahabatku ini. Aku sedih terkacau galau. Teringat berdua kami mengarung ibukota. Berdua Berlindung hujan di bawah pohon rindang, berpanas terik membelah kemacetan. Hanya dia yang selalu ada mengerti dan menemani. Ohhh kingku. Maafkan  aku.
Jalan agak sepi lurus lancar bak jalan  pribadi. Ku coba  menambah sedikit  kecepatan agak  kencang.
Setelah kecepatan bertambah kembali aku coba mengurangi lagi tapi sungguh tak ku sangka, gas motor sudah aku kurangi tapi kecepatan terus semakin tinggi. Terus meraung tak bisa ku kendali. Astagaa ya Allah. Aku panik. Beberapa meter di depanku sudah waktunya membelok. Si kingku  terus saja melaju kencang. Aku benar sungguh  bingung entah  mesti bagaimana. ku coba untuk sedikit menginjak rem berharap kecepatan berkurang sehingga aku bisa membelok di tikungan  depan  Tapi ban belakang si king langsung ngesot dan oleng, tak alang lagi aku hilang kendali. Kami berdua jatuh saling bertindih meluncur cepat di atas aspal tajam. Sempat ku menoleh kendaran di belakangku, terlihat truk kontainer besar nan gagah perkasa dengan bermuatan besi tembaga. Yaaaahhh. Aku pasrahhhh. Ya Allah, kalau memang hari ini aku harus mati....
Terlihat celanaku mulai terkoyak, jaketku robek berdedel berkeping berterbangan. Aku masih terus memegang Si kingku sampai akhirnya kami berdua terpisah saling terhempas  terlepas menuju derita kami sendiri. Dia terpental di depanku menjauhiku. Aku masih sempat melihatnya terbentur trotoar jalan, berputar beberapa kali. Aku sendiri entah apa yang terjadi. Aku hanya mendengar suara rem mobil berhenti sangat mendadak dan teriakan histeris sampai akhirnya badanku seperti terbentur dan tersangkut di sebuah benda. Ku coba membalik badan dan melihat dimana aku berada. Astagaaaaa. Ternyata aku berada di sebuah kolong mobil metromini. Aku tersangkut di sela ban mobil ini. Ku coba bangkit dengan sejuta perih beribu  nyeri, kepalaku  berat dan sungguh pusing yang sangat teramat. Ku perhatikan sekujur badanku penuh goresan luka  dan tetesan darah segar di sana sini, tangan kiriku, kaki kiriku penuh tetesan darah merah. Ku paksa untuk bangkit berdiri. Berjalanku tertatih menuju sang supir yang terlihat panik dan shock. Mungkin saja dia mengira telah menabrakku sampai mati.
Sang supirpun segera turun diam membisu. Dia terheran melihat aku masih bisa berjalan ke arahnya. Segera ku ulurkan tanganku dan menjabat tangannya sambil memeluk erat. Ku bisikkan kata terima kasih karena telah menginjak REM dengan sigap dan tepat.  Andai terlambat, mungkin aku sudah tak selamat.
Segera orang berbondong menolongku, merengkuhku dan membawaku ke tempat teduh, termasuk si kingku di bawa pula di hadapku.
"Motormu ga ada yang rusak mas, soalnya tadi saya lihat motor mas ini menindih badan mas , spertinya keadaan mas yang parah." Seorang penolong yang melihat kejatuhanku bercerita.
"Mas ...ga apa apa mas ? Saya lihat tadi kok mirip adegan film action di TV mas. Ngeri saya lihatnya." Beberapa orang mencoba melihat dan menanyakan keadaanku. Akupun di berikan segelas air, mencoba untuk mengurangi panikku. Ku atur nafasku. Berehat diri untuk menenangkan diri.

Setelah di rasa cukup, kembali aku mencoba berdiri dan menganalisa ketahanan dan keseimbangan badanku sambil memeriksa keadaan si king. Yahhh. Aku rasa aku masih sanggup untuk pulang. Tampak salah satu penolong menyalakan motorku dan memeriksa keadaannya. Ternyata kawat gas si kingku kotor kurang pelumas sehingga berkarat, macet  dan tersangkut. Setelah di periksa dan di perbaiki, kembali aku melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan sangat pelan sekali.

Tibalah aku di rumah bak orang gila yang jadi pusat tontonan, semua tetangga heran melihat keadaanku yang bagai orang pulang perang. Wajah melas penuh bedakan debu, meringis rintih , tertatih melangkah bak anak baru di sunat. Emakku seketika menangis histeris tak tega teriba melihatku penuh luka. Di bantunya aku berebah, mengganti semua baju dan celanaku yang sudah compang camping. Ku bersihkan lukaku dengan air, walau perih ku rasa, ku coba untuk merasanya. semakin perih  luka ini terasa, akan semakin  menyadarkanku  bahwa menjadi orang yang tidak mampu ke rumah sakit itu adalah orang yang tolol juga bodoh karena tidak sanggup mengobati diri sendiri. Jangankan membiayai sebuah luka, memasuki halaman rumah sakit saja tak punya nyali karena  itu  lebih membuat sakitku membusuk dan memecah otak ketika di hadapkan dengan nominal angka di atas kertas sebuah  kwitansi pembayaran.

Aku berdiri di sudut ruangan kamarku. Ku pandang jauh mata ke depan penuh hampa. Ku  kepalkan tanganku sangat erat. Darahku mendidih, Jantungku bergenderang, nafasku sesak, mataku mulai  lelinangan air mata yang membasahi kelopak.  Makin lama makin tak terbendung ,diapun jatuh penuh keihklasan , terjun bebas penuh kesedihan. Merengkuh bumi pecah terberai.
 Aku semakin terisak, berkali ku usap berkali  sesenggukan tanpa jeda. Mencoba mengeringkan mata tapi derasnya linangan tak mampu tertahan . Bagai  air bah, airmata ini terus berjatuhan.

 Mengapa hidupku di penuhi kesusahan, kenapa anak seusiaku yang seharusnya meniti ilmu menggapai cita tinggi harus bertarung sendiri bertahan hidup tanpa bantuan siapapun. Aku sekarang yang terluka harus menahan luka  karena ketidakmampuanku untuk mengobati diri. Uang 20 ribu saja terlalu najis hinggap  di kantongku. Bagaimana aku punya nyali mengobati diri menuju  rumah sakit sombong yang melayani sakit hanya  apabila bermateri.
Aku sangat  menyayangi hidupku. Lebih baik aku menyiksa tubuh ini daripada penuh luntang-lantung mencari hutangan penuh hinaan, tergeletak berperih di lantai lorong rumah sakit berharap uang bisa tercari untuk segelintir butiran pahit yang harganya  melebihi sepiring nasi berlaukkan teri.

Biar...biar ku nikmati lukaku ini. Ini akan membuatku semakin berontak. Aku akan terus berontak untuk menjauhi kemiskinan ini.

“Aaahhhhhhhhhhhhh.. Bangsaaatttttttttttt”

Aku berteriak menangis dan memukulkan tanganku ke dinding kamar berlapis papan  tipis   sampai hancur. Aku tersudut terduduk terisak  menangisi keadaan. Menyesali kemiskinanku. Merasakan penderitaanku. Derita anak semata wayang tak berbapak. Di landa sakit hanya bisa menangis. Menahan luka dengan impian. Melawan sakit dengan ambisi.  Impian dan ambisi untuk tidak susah....




Tibalah aku di rumah bak orang gila  jadi pusat tontonan, semua tetangga heran melihat keadaanku yang bagai orang pulang perang. Wajah melas penuh bedakan debu, meringis rintih , tertatih melangkah bak anak baru di sunat. Emakku seketika menangis histeris tak tega teriba melihatku penuh luka.

…Menembus Langit…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar