BAB 27 : PEREMPUAN ITU...


Bab 27
  Perempuan itu...

Setelah keluar dari studio aku segera menyambar tasku dan mengambil motorku untuk ku pacu secepatnya menuju kantor itu. Sepanjang perjalanan aku tak hentinya berkelok, membelok, memotong dan menyalip. Semua ku lakukan asalkan motor ini terus berpacu melaju.
Hampir 1 jam aku bertarung melawan waktu dan kecepatan. Sampailah sudah aku di kantor itu. Segera ku parkir motorku, berlari ke kamar mandi, berganti pakaian. kemeja putih celana hitam. Aahhhhh kusut sekali pakaian ini. Aku sibuk mencoba merapihkan kemeja dan celana ini. Benar-benar terlihat murahan. Sambil berjalan tak hentinya aku terus sibuk membenahi kemeja ini. Tetap saja kusut tak rapih.

Segera ku meluncur ke  ruangan yang ku tuju. Ku coba mengetuk pintu sambil membuka perlahan. Di dalam tampak hening sepi tanpa suara, terlihat semua orang berbaris rapih di ruangan ini. Aroma wangi tersebar. Wajah tampan juga cantik terpampang di hadapku. Seketika itu juga semua mata di ruangan itu menatapku. Ada yang mengerutkan dahi, tersenyum, heran, dan berbisik-bisik bahkan ada yang tertawa.
Yahhh. Beginilah resiko orang yang telat datang. Semua mata pasti memandang. Perlahan aku terus memasuki ruangan itu dan mencoba menemui seseorang untuk aku mintai maaf karena keterlambatanku.
Mataku terus mengembara menyisir ruangan itu. Dan akhirnya sesuatu menyentak dadaku . Bak petir di siang bolong, seperti tikus melompat terkaget nyaris  terperangkap jebakan berjepit. Seperti anjing yang terkaing melengking karena sendal jepit melayang menghantam diri. Aku benar-benar tak menyangka. Keterlambatanku di sambut oleh sang perempuan itu.
Kedua  tangan mendekap dada, mata melotot, alis bergaya segitiga, mulut bergetar mendesis dan meringis, hidung kembang kempis, bibir merah darah, keluar asap putih dari sela lubang telinga seperti cerobong asap kereta api.

"Kemarin saya sangka kamu mau melamar jadi security, sekarang kamu berubah profesi mau menjadi tukang ngamen di lampu merah atau tukang palak di bis  umum.
" Bapak-bapak Ibu-ibu, saya baru keluar penjara belum makan 3 hari, mohon sumbangannya untuk saya, Bapak-bapak Ibu-ibu tidak akan jatuh miskin hanya dengan memberi saya 1000 rupiah.  Dari pada saya nodong lebih baik saya minta terus terang.”
  Si perempuan itu berteriak keras   sambil menepuk-nepuk tangan menirukan gaya ala  preman di angkutan. Kontan seisi ruangan tertawa terbahak, melihat lucunya Si perempuan durjana ini dalam berackting. Gelak tawa terus sahut-menyahut di ruangan ini lama tak terhenti. Aku hanya diam. Ku pandangi satu persatu mereka yang tertawa. Tampak Ratih teman yang waktu itu  aku kenal dan satu orang lelaki yang tidak tertawa. Ratih seperti memberi isyarat agar aku sabar dan diam saja. Dia tampak iba melihat aku di tertawakan.
Kalau saja aku tidak sabar, bisa aku gebukin satu persatu orang yang telah menertawakan aku ini. Tak peduli jika aku harus berurusan dengan polisi lagi. Termasuk Si durjana itu. Ingin sekali ku tampar mulutnya agar bisa lebih menghargai orang.
 Tapi aku tetap menahan diri, ada hal yang lebih penting dari balik ejekan ini.
"Saya ga nyangka kamu bisa lulus test sejauh ini, apa hebatnya kamu. coba kamu lihat semua orang di ruangan ini, apa kamu pantas di sejajarkan dengan mereka?". Si perempuan itu berucap pelan  membisikku penuh keheranan. Lagi-lagi aku hanya berdiam diri. Terus ku tatap mata si durjana itu, aku terima apapun hinaan yang keluar dari mulutnya. Biar dia puass.
Puas sudah dia merendahkan aku, kamipun di persilahkan untuk duduk dan siap siap mengerjakan soal psikotest. Yahhh kali ini aku akan test tahap berikutnya. Aku gelisah kusat-kusut gasrak-gusruk membongkar-bongkar tas yang ku bawa untuk mencari sebuah pulpen.
 Ku keluarkan barangku satu persatu. Sebuah bedak bayi, minyak urang-aring, sisir, kertas lirik lagu, senar gitar cadangan, sarung tangan motor, jaket lusuh nan bau. Ammmpunnnn aku ga bawa pulpen. Akupun clingak-clinguk menatap beberapa orang berharap ingin meminjam dan Ratihlah  orang pertama yang mengerti keadaanku, dengan segera dia memberikan  sebuah pulpen untukku. 

"Terima kasih Ratih." Mulutku berucap pelan seperti berisyarat sambil menatap.




Mataku terus mengembara menyisir ruangan itu. Dan akhirnya sesuatu menyentak dadaku . Bak petir di siang bolong, seperti tikus melompat terkaget nyaris  terperangkap jebakan berjepit. Seperti anjing yang terkaing melengking karena sendal jepit melayang menghantam diri. Aku benar-benar tak menyangka. Keterlambatanku di sambut oleh sang perempuan itu.

...Menembus Langit...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar