BAB 16
NOMOR 14
Test pertama, aku sudah sangat
merasa pesimis. Aku benar seperti terperangkap dengan emosiku. Mencoba
untuk bertindak cepat tapi salah bertindak,salah perhitungan. Sekarang adalah
waktunya aku untuk mengikuti test ke dua yaitu wawancara.
Dihadapkanlah aku dengan empat orang Interviewer. Aku lihat beberapa
pelamar di depan aku sedang bertanya
jawab dengan interviewer. Dari meja 1
pindah ke meja ke 2, ke 3 dan ke 4.
Empat orang di meja itu akan
bergantian mewancarai semua pelamar satu persatu. Mukaku tampak berkeringat,
jantungku berpacu hebat. Aku benar teramat
gugup. Ini adalah situasi resmi pertama kali yang aku alami. Aku akan berhadapan dengan para
orang tua berdasi dan berkacamata. Aku berusaha merapihkan kemeja dan
celanaku yang kusut karena harus bergelantungan dan
berdesakan di dalam Metromini. Sepatuku terlihat kotor berbekas injakan. Segera
ku bergegas ke kamar mandi untuk kutatapkan wajahku di sebuah kaca kecil.
Sumpahhh. Ternyata bukan cuma
pakaian dan sepatuku yang kusut, wajahku juga kisut kusut, dekil berdebu,
keringat cecucuran dan kering kusam tak bersinar. Sungguhlah pantas aku
bergelar lelaki tak berparas.
Segera kubasuh mukaku, ku taburkan segumpal
bedak di tangan, ku usapkan ke muka agar terlihat benderang, ku ambil minyak
rambut orang-aring dan ku oleskan ke rambut gondrong menjadi klimis membasah .
Jambang panjang berjingkrakan, kumis berantakan macam pager kecamatan. Bulu hidung panjang saling
berbalapan. Astagaa...apa aku pantas
melamar kerja ini. Apa aku pantas berhadapan dengan orang berdasi itu. Aku
terus merasa rendah diri.
“Usaha
yok ...usahaaa...coba dulu." Yah, itulah sedikit kata hatiku berucap
mengingatkanku agar aku bersemangat. Membunuh pesimisku untuk tetap berani
mengadu nyali menghadapi para tua yang berdasi.
Setelah di rasa cukup aku
berkaca, akupun segera kembali ke ruang tunggu untuk menunggu gilaran
interview.
Giliranku sudah semakin dekat.
Jantungku semakin berdentum keras. Ya allah ...ini pengalaman pertama aku. Beri
aku keberaniann. Aku yang dulu suka tawuran, aku yang sekolah bawa pedang, aku
yang keluar masuk penjara, Aku yang menghantam kepala maling pakai batu bata,
Seharusnya aku sudah tidak punya rasa takut lagi. Tapi kenapa perasaanku ini
menjadi ketakutan seperti ini.
"Priyo..” Tampak salah
seorang panitia memanggil namaku. Akupun di hadapkan dengan orang pertama. Aku
berjabat tangan, dia menanyakan kabar, menanyakan soal pengalaman bekerja,
pendidikan dsb.
"Apa
cita-citamu sekarang ini." Itulah pertanyaan yang sempat membuat aku
terlamun, menunduk dan diam sejenak.
Aku mencoba menghela nafas
panjang, aku angkat kepalaku, kutatap wajah bapak itu, aku mulai bercerita
panjang lebar mengenai cita-citaku dan kisah Bapakku. Aku sangat percaya diri
dalam hal ini. Aku berbicara tanpa terbata, sedikitpun pandangan mataku tak
beralih dari mata bapak itu. Ku ceritakan dengan kerendahan diri dan kejujuran
hati.
"Saya
memang belum pengalaman bekerja pak, saya baru lulus sekolah, saya masih
terlalu muda. Tapi saya yakinkan ke bapak bahwa saya butuh pekerjaan ini untuk
memulai hidup saya yang baru. Saya sedang dalam suasana berduka dan butuh
segera pekerjaan untuk melangsungkan hidup saya. Saya akan cepat belajar, saya akan kerja keras. Kasih saya
kesempatan pak. "
Itulah kata penutup yang aku ucapkan. Mungkin
ini terdengar seperti mengemis atau
sebuah ratapan, tapi memang beginilah keadaanku. Aku jujur dan aku juga
mengemis. Aku butuh pekerjaan ini. Lebih baik mengemis disini daripada aku
harus mengemis di luar sana.
Setelah selesai di wawancara
dengan orang pertama aku berlanjut dengan orang kedua, ketiga dan sampai orang
terakhir.Kebanyakan mereka semua bertanya soal kehidupan dan akupun menjawab
dengan penuh kesedihan.
Hari sudah menjelang sore,
kami semua para pelamar kerja menunggu hasil sambil berharap cemas . Apakah di
terima atau tidak.
Di sela-selaku menunggu, aku
masih terus memikirkan soal nasib hidupku. Aku mau jadi apa dan bagaimana masa
depanku nanti ? Tidak akan ada yang bisa membantu kecuali diriku sendiri.
Yaaahhh...aku harus berubah,
ini sudah waktuku untuk bekerja menjadi mandiri. Aku akan terus berusaha.
Semangat bapakku akan terus mendampingiku. Membakarku untuk terus berambisi
mengggapai mimpi. Hidup jauh dari susah.
Seorang panitia tampak datang
dari balik Kantor dan menempelkan sebuah kertas di sebuah dinding.
"Semua
nama pelamar yang di terima ada di kertas ini, kalau namanya tidak tertera
berarti tidak di terima." Begitulah pengumuman yang di ucapkan oleh
seorang panitia.
Ratusan orang beramai-ramai
berdesakan dan membaca isi dari kertas itu. Ada yang berteriak penuh gembira,
ada yang saling berpelukan penuh sedih dan ada yang marah penuh penyesalan.
Bermacam expresi tumpah ruah tercurah. Sedangkan aku. Aku masih duduk sambil
mendekap kedua kakiku,aku lihat kerumunan itu dari kejauhan. Terus ku
memandangi kerumunan itu, perlahan-lahan banyak sudah pergi. aku terus
menunggu. Aku akan melihat kertas itu sendiri. apapun yang terjadi, di terima atau tidak, ini adalah perangku.
Perang untuk bertahan hidup, perang untuk masa depanku dan aku akan siap
menerima hasilnya apapun itu.
Sudah hampir 30 menit aku
duduk menunggu, akhirnya kerumunan itu hilang, aku berdiri perlahan, melangkah perlahan. Ku dekati
kertas itu. Ku menunduk, memejamkan mata, ku buka perlahan mataku.
Ku tatapkan mata ini tajam ke
arah kertas itu. Ku baca nama-nama yang di terima dari mulai yang teratas.
1. Junaidi
2. Nurlaili
3. Agus suyanto
4. M. Yusuf
5. Andri
6. Freddy lesmono
7.Ayu ningrum
8.Bambang kusumo
9.Suyarto
10.Supriady
Hahhhh...aku menghela nafas
panjang sambil memejamkan mata, sudah 10 nama ku baca dan itu tak ada namaku . Aku mulai sedikit lemas dan pasrah. mungkin ini
bukan rejekiku.
11. Alwan hidayat
12. Danu subianto
13. Lilis anjarwati
14. Priyo martono..
Alhamdulilaaaahhhhh ya
allahhh...ku usapkan kedua telapak tangan ke wajahku. Aku lulus test. Aku
berada di urutan ke 14 dari 20 pelamar yang di terima. Sekali lagi kutatap
tajam mendalam nomer 14 itu. Yahhh itu aku. Itu namaku. Aku dapat pekerjaan.
Aku kerjaaaaaa. Emak aku dapat kerja mak. Aku segera bergegas pulang dan
berjalan kaki hampir 1jam. Walaupun banyak angkutan umum, tapi aku memutuskan
untuk terus berjalan kaki sambil terus
bersyukur berlinang tangisan.
Emakk... kita akan bisa hidup
di Jakarta mak, aku dapat kerja. Bapakkkk...anak laki-lakimu sekarang ini sudah
dapat kerja Pak. Aku dapat kerjaaaaaaa. Sedikit aku mengepalkan tangan dan berteriak sambil terus terurai air mata.
Sepanjang perjalanan airmataku
terus mengalir, aku teringat bapakku yang telah tiada, andai saja bapakku masih
hidup, dia akan bahagia karena anak laki-lakinya yang semasa kecil jadi anak
kampung, semasa sekolahnya jadi berandalan dan
tukang tawuran, tapi sekarang sudah punya pekerjaan. Bapakku pasti
sangat bahagia penuh bangga.
Sumpahhh. Ternyata bukan cuma pakaian dan sepatuku yang kusut, wajahku
juga kisut kusut, dekil berdebu, keringat cecucuran dan kering kusam tak
bersinar. Sungguhlah pantas aku bergelar lelaki tak berparas.
...Menembus Langit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar