BAB 14 : BAPAKKU


Bab 14
BAPAKKU

"Sudahlah Le, Bapak kuat kok. Bapak ndak  mau turun sebelum sampai  Stasiun Senen. Sebelum ke rumah sakit, Bapak mau pulang ke rumah dulu ketemu emakmu."  Bapakku lirih berucap.

Aku sunggguh tak tega melihat keadaan Bapakku. Dia lemas bersandar di dinding kereta, matanya terpejam, nafasnya lemah teramat sangat penuh keringat dingin bercucuran. Aku mulai menangis terisak melihat Bapakku menahan sakit. Ya Allah berikanlah bapakku kekuatan.
Waktu menunjukkan pukul 6 pagi ketika kereta tiba di Stasiun Senen. Akupun segera memapah Bapakku turun dari kereta, segera ku panggil taksi dan ku minta sang supir taksi untuk cepat melaju  menuju kawasan rumah kami. Aku masih terus terisak, mencoba mengajak bapakku bicara.

 "Pak kita sudah mau sampe rumah, bapak masih kuat kan ?" Ucapku sambil terisak deras di dalam taksi.
"De..tidak langsung di bawa ke rumah sakit saja ?” Saran supir taksi. Bapakku memegang erat tanganku seolah memberi kode bahwa dia tidak mau ke Rumah sakit.
Jam 7.30 aku sudah sampai di rumah. Banyak tetanggaku yang sedang bersantai turut membantuku setelah melihat keadaan Bapakku yang sakit parah. Kami menggendong bapak bersamaan menuju rumah. 

Bapakku langsung di sambut oleh isak tangis Emakku. Sempat Bapakku berbicara lirih kepada  Emakku dan melihat sekeliling rumah sampai aku memutuskan untuk langsung di gendong menuju taksi kembali menuju Rumah sakit.
Jam 8.00 tepat,  aku dan Bapakku tiba di Rumah sakit. Bapakku langsung di tangani oleh team dokter. Aku dan emakku menunggu di luar.
Setelah 15 menit pemeriksaan, team Dokter memintaku  agar  bapak  di rawat dan aku di haruskan ke ruang administrasi untuk melakukan pembayaran.

Setelah menemukan Ruang Administrasi, akupun segera merogoh gulungan uang yang masih tersimpan di kantong celana pendekku. Aku buka karetnya dan ku berikan sejumlah uang yang di minta. Setelah pembayaran selesai, akupun menuju ruangan tempat Bapakku di istirahatkan. Tampak bapakku terpejam, mulut di tutupi oleh masker oksigen, suara nafas yang masih terengah-engah.

"Biarkan bapak istirahat ya. Jgn di ganggu." Kata dokter.
Akupun sedikit lega, Bapakku sudah di obati. Ku minta Emakku menemani Bapak di Rumah sakit, aku tinggalkan 1 gulung uang buat pegangan Emak dan aku pamit pulang ke rumah dulu untuk merebah diri.
Tibalah  aku di rumah. Segera ku rebahkan badanku di atas kasur. Ku tatap atap langit, ku berdoa semoga Bapakku lekas sembuh. Kembali lamunanku berkhayal berseragam loreng mengokang senjata. Yaaahhhh sebentar lagi aku akan jadi sersan yang gagah. Aku akan di hargai orang, keluargaku akan bangga. aku akan menjadi satu satunya TNI berpangkat sersan di kampungku bahkan se-kecamatan.

Aku sangat lelap tertidur sampe pukul 5.00 sore. Setelah tersadar, Segera ku bergegas  menuju kembali ke Rumah sakit. Setibanya di sana, emakku tampak terisak.
"Bapakmu dari tadi pagi kok ndak sadar-sadar toh Le, sekarang nafas Bapakmu kok makin lemah dan  bunyi krok-krokkkkan. Emak takut Le."  Ucap emakku.
Akupun segera bergegas memanggil Dokter jaga. entah kemana Si Dokter berada yang ada hanya seorang Mantri atau perawat lelaki yang  sedang menunggu di ruang perawat.
Aku meminta ke sang Mantri agar Bapakku di bawa kembali ke ruang ICU dan di tangani oleh dokter ahli.
 "Sudah. Bapak tidak apa apa kok, coba kamu beli  obat ini saja ke apotik ya." Disuruhnya aku oleh sang mantri untuk membeli obat.

Aku segera menuju ke lantai bawah menuju Apotik Rumah sakit. Sesampainya di apotik, staff Apotik mengatakan bahwa persediaan obat yang aku minta sedang kosong, aku di sarankan membelinya di apotik luar. Dengan sedikit berlari akupun keluar Rumah sakit. Aku menunggu angkutan tapi tak satupun yang datang. Bajaj tak ada bahkan tukang ojekpun sedang kosong. Kebetulan memang letak rumah sakit ini jauh dari jalan raya besar jadi sangat sulit mencari angkutan. Ku putuskan untuk berlari menuju perempatan terdekat mencari tukang ojek. Hampir 5 menit aku berlari sampai menunggu pangkalan ojek. Tanpa berbasa basi akupun minta di antarkan mencari Apotik besar.
Tiba di sebuah apotik Rumah sakit Sunter Agung dan ternyata obat yang aku cari tidak ada juga, kembali aku naik ojek dan mencari apotik lainnya. Sudah hampir 4 apotik aku datangi tapi tak satupun yang mempunyai obat yang aku minta. Salah satu apoteker mengatakan bahwa aku di haruskan menuju salah satu Rumah sakit di daerah kemayoran dan akupun segera menuju ke sana. 

Sampailah aku di rumah sakit besar di daerah kemayoran. Syukur alhamdulilah, obat yang aku cari tersedia. Obat ini berbentuk botol kecil berisikan cairan. Sangat kecil sekali dan termasuk obat mahal. Aku harus mengeluarkan uang sekitar 300ribu untuk 1 botol itu.
Tak mau menunggu lama, akupun langsung kembali menuju Rumah sakit. Pukul 19.30 aku tiba di depan rumah sakit. Akupun berjalan tergesa menuju ke kamar tempat Bapakku di rawat. Tampak terdengar lirih suara teriakan orang di sertai jerit tangis. Aku terus berjalan tanpa menghiraukan suara jeritan itu. Makin lama aku berjalan, suara jejeritan itu makin terdengar jelas. Terus aku berjalan mendekati kamar Bapakku dan suara itu semakin keras. Aku mulai berjalan setengah berlari, firasatku sudah buruk  rasa rasanya kok tak asing dengan suara itu. Makin dekat, suara itu makin aku kenal, itu adalah suara Emakku. Jantungku berdetak hebat, aku berlari seketika dan masuk ke ruangan kamar Bapakku. Ya allah...aku lihat Emakku mengamuk di lantai menangis dan menjerit, ku alihkan segera pandanganku menuju Bapakku. Ku lihat sang Mantri sedang memompa dada Bapakku menggunakan kedua tangan. 

"Ini obatnya pak, biar aku yang melakukan ini..”Aku segera memompa dada Bapakkku dan membiarkan sang Mantri melakukan suntikan dan memasukkan cairan obat yang aku beli. Aku sudah tidak mendengar suara nafas Bapakku, dia diam tidak bergerak, aku terus memompa dadanya tiada henti.
"Bapak ...ayo pak bangun...jangan nyerah pak...ayooooo bangunn."
Teriakku sambil terus memompa. Keringatku mulai bercucuran, akupun semakin panik, aku terus berharap Bapakku bisa sadar, sampai sang Mantri menghentikan gerakanku dan berucap " ihklas ihklas mas ,bapak sudah ga ada ".

"Anjingggg...bangsatttt loe yaaa, gua udah bilang dari tadi supaya Bapak gua di bawa ke IGD dan panggil Dokter ahli, tapi loe bilang bapak gua ga apa-apa. Bangsat loe ...anjing luhhh.” Aku mengamuk seketika, aku pukul sang Mantri sampai jatuh ke lantai, ku injak injak, aku pukul mukanya berulang-ulang sampai dia kabur keluar ruangan.
Ibuku masih mengamuk di lantai menangis dan menjerit. Kembali aku memompa bapakku dan berteriak memanggil-manggil Bapakku. Di sinilah air mataku mengalir deras. Aku menangis meraung  sambil terus memompa dada Bapakku sampai akhirnya segerombolan security dan team Dokter datang menangkap badanku dan menjauhkan aku dari Bapakku. Aku terus meronta, dan melawan. Empat orang Satpam berhasil membuat badanku diam tak bergerak. Di jatuhkannya aku di lantai. Kaki dan tanganku  di pegang, badanku di tahan. Aku benar  tidak bisa bergerak. Aku cuma bisa meraung.

"Istigfar..Mas..Istigfar..Mas.Astagfirallah..alazim..astagfirallah". Seorang Satpam membisikan kata  ini ke telingaku.
Aku mulai sedikit agak tenang. Akupun di  lepaskan pelan pelan. Emakku menghampiri aku dan memelukku erat sambil terus menangis.
“Bapakmu mati le, bapakmu wis matiii..."
 Ucap Emakku sambil terus menangis. 
Aku terdiam sambil terus sesenggukan, tak hentinya mata ini deras mengeluarkan air mata.
 "Sebaiknya bapak langsung di bawa pulang ke rumah mas, ini saya sudah siapkan semua biaya administrasi. Termasuk biaya peti mati dan sewa ambulans."
Salah seorang staff rumah sakit menyodorkan tumpukan kertas mengenai soal total tagihan yang harus aku bayar.

Akupun langsung merogoh beberapa gulung uang dan segera ku lunasi semua biaya yang di tagihkan. Bapakku sudah berada di dalam ambulan, segera aku naik ke ambulan bersama Emakku dan pulang ke rumah dengan tetesan airmata kehilangan.
Kurang dari 30 menit aku sudah tiba di rumah. Semua tetanggaku segera bergegas menyambut kedatangan kami. Satu-persatu tetangga dan beberapa saudara tampak datang. Aku terus berdiam diri, sambil terus menghisap rokok. Sesekali ku lihat Emakku pingsan. Sadar,pingsan lagi, sadar lagi  dan pingsan lagi begitu seterusnya.
Aku terus berdiam diri sambil terus menghisap rokokku.

 "Jual rumah, jual tanah buat jadi  tentara dan sekarang Bapakku sudah meninggal, kenapa aku tidak memaksa Si Mantri untuk memindahkan Bapakku ke iGD supaya Bapakku bisa langsung di tangani oleh Dokter Ahli, kenapa untuk mencari obat saja, aku harus lama? Andaikan saja aku bertindak cepat dan segera menemukan obat itu, pasti Bapakku tidak akan meninggal...”
Aku terus melamun memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu. Kenapa, mengapa dan  andai saja. Yahhh itulah yang berkecamuk di dalam pikiranku.
 Di sela-sela lamunanku, aku melihat segerombolan anak muda datang menghampiriku, banyak sekali rombongan ini. Yahh mereka adalah teman STMku.
Mereka datang dan menghampiriku satu persatu memberikan ucapan turut berduka. Tangiskupun tumpah kembali, aku menangis sangat deras, aku berteriak kerasss sekali memanggil Bapakku. Aku kembali menghampiri Bapakku dan mencoba membangunkannya.

Aku koyak badannya, aku pompa lagi dadanya. Aku masih tidak percaya. Bapak yang selama ini membesarkanku, merawat dan mendidikku, harus mati sekarang.
Beberapa temanku mulai memegang badanku dan menyeretku untuk menjauhi Bapakku. Aku terus beronta dan melawan sampai akhirnya .." Paaaaakkkk" sebuah tamparan keras menghujam di pipiku.
"Cukup cukuppp...ga ada guna loe besikap kaya gini, sadar yok, ikhlasin, Bapak loe dah ga ada."  Si Udin salah satu sahabat karibku mencoba menenangkan aku.
Dibawalah aku ke kamar mandi  dan di minta untuk mengambil air wudhu. Mereka menyuruhku segera sholat untuk menenangkan diri. Akupun sholat di lanjutkan dengan  berzikir. Aku mulai tenang. Airmataku sudah terhenti.
"Bapakmu akan di mandikan yok, kamu mau ikut memandikan juga ga?” Salah seorang tetangga menyarankan aku untuk ikut serta.

Akupun menghampiri tubuh Bapakku. Aku memandikan Bapakku dari kepala sampai kaki. Ku bersihkan badannya, ku oleskan sabun ke wajahnya dengan lembut. Tampak terlihat exspresi   wajah Bapakku yang tegang dan seperti mempunyai rasa takut yang mendalam. Aku sungguh tak tega melihat wajah ini.
Setelah memandikan akupun mengeringkan badannya dengan handuk dan juga Membantu salah seorang kyai membalutkan kain kafan ke tubuh Bapakku.
Aku juga di sarankan untuk merias wajah Bapakku dengan bedak. Akupun melakukan penuh perasaan. Ku oleskan bedak dari mulai dahi, ke pipi kiri dan kanan sampai ke bibir dan dagu. 

Ya Allah...ketika aku mengoleskan bedak ke bagian bibir dan dagu, aku melihat perubahan expressi wajah bapakku. Sekarang dia tampak segar, putih, bibirnya tersenyum . Tidak tampak lagi adanya ketegangan dan ketakutan. dia terlihat sangat nyaman seperti tertidur lelap dan bermimpi indah. 
Setelah pembacaan doa dan semua tetangga dan saudara sudah datang. Akupun di tanya oleh Bapak RT mengenai tempat pemakaman.
"Aku mau memakamkan bapak di kampung saja pak RT. Malam ini juga saya akan pulang ke jawa.” Ucapku.
"Maaf nak pri, apakah dananya sudah di persiapkan? soalnya biaya sewa ambulan dan mobil pribadi mahal."
Jawab pak RT. Akupun meyakinkan pak RT bahwa semua dana  sudah ada. Pukul 11 malam aku dan beberapa teman dan saudara pergi menuju ke kampung lagi. Aku menyewa 1 buah mobil ambulan dan 1 buah mobil pribadi berjenis carry. Semalaman aku terus melamun dan memikirkan Bapakku. Sesekali aku menangis , aku kembali terisak. Keadaan Emakku masih lemas, beberapa kali sering jatuh pingsan. Lebih dari 12 jam kami di perjalanan. Pukul 4 sore kami tiba kembali di Cepu.
Semua warga desa berkumpul dan berlarian mengejar ambulan dengan sirene yang sangat keras. Mungkin mereka bertanya, siapakah yang meninggal itu.
Ketika sampai di ujung jalan, akupun berhenti dan keluar dari mobil. Serentak semua saudara dan tetangga sekampung histeris menangis.  Mereka sudah bisa menduga bahwa Bapakku yang meninggal.

Baru hari kemarin aku pergi meninggalkan kampung ini, sekarang aku sudah kembali dengan membawa peti mati.
Baru kemarin bapakku berpamitan memohon restu semua saudara agar aku bisa berhasil jadi TNI, sekarang Bapakku diam terbujur mati di dalam peti.
Satu persatu saudara dan tetangga datang menjenguk dan bertangisan. Tampak beberapa orang sibuk membuat Patok Nisan, ada yang memegang cangkul dan linggis dan siap ke tanah pemakaman untuk menggali kubur.
Kuhisap rokok ini teramat dalam. Memandang keramaian penuh kesedihan. Kosong tatapanku, perih dukaku melahirkan airmata kering tanpa linang. Menyendiri menatap hamparan sawah menguning terbungkuk rendah menyembah bumi. Yahh. Apapun semua berasal dari tanah. Sepantasnyalah kita kembali ke tanah.
Selamat jalan Bapakku .....




Baru hari kemarin aku pergi meninggalkan kampung ini, sekarang aku sudah kembali dengan membawa peti mati.
Baru kemarin bapakku berpamitan memohon restu semua saudara agar aku bisa berhasil jadi TNI, sekarang Bapakku diam terbujur mati di dalam peti.

...Menembus Langit...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar