BAB 29 : SANG KERITING


Bab 29
SANG KERITING

Hari ini sepertinya hari yang memalaskan. Aku enggan sekali beranjak dari ranjang ini, mata ingin terus terpejam, badan letih lelah  tak bertenaga. Di tambah lagi pusing di kepalaku masih pelum hilang, stress jiwaku masih terus membayang.
Psikotest yang aku lalui kemarin benar sangat menyiksa jiwa luar dalam. Aku memutuskan untuk tidak bekerja lagi hari ini. Sekedar menenang diri untuk bisa berpikir normal lagi.

 Perlahan ku beranjak menuju tempat membasuh muka, ku tatap dalam wajah di cermin itu, jerawat tampak tumbuh di sana sini memancing tanganku untuk menyingkirkannya penuh  paksa. Perutku bergenderang berdentangan seperti lolongan serigala jantan yang  melihat sempurnanya Purnama. Benar nian sungguh tak tertahan. Laparku ini bagai menangis di atas luka, seperti anjing yang menjulur lidah karena lelah  dari pelarian. Bagai sesosok anak kecil di perempatan lampu merah berkepala botak, berbaju lusuh, menepuk tangan, menyanyi lagu patah hati di hiasi wajah sedih bagai kekasih yang terselingkuhi. Laparku ini sudah teramat sangat akut tingkat tinggi.

Tertujulah aku ke dapur, menyalakan sumbu kompor hitam kelam penuh usang, ku benamkan  sebatang lidi   ke dalam lubang kompor agar terbalut cairan langka yang terus melonjak harga setinggi Merpati.  Kunyalakan api lidi menyala. Ketenggelamkan lidi  itu ke dalam sumbu dan apipun berkobar satu persatu. Beriringan indah, berbaris gemulai  saling membakar  sang sumbu, mencipta terang menghantar panas.
Ku letakkan panci tua hitam kelam. Bergagang kayu nan   penuh ikatan tali. Ku tuangkan air tertumpah mengisi kehausan si panci tua yang tadinya kering kosong tergantung terkait paku di dinding retak membisu bersedih pilu.

Sembari menunggu air meluap marah, ku ambil sebungkus Mie instant bergambar jin berbalut surban.  ku buka satu persatu bumbu penikmat rasa itu, ku biarkan terjatuh berurai ke mangkuk bulat bergambar ayam jago  Berjengger merah.
blekutuk ..blekutuk ..blekutuk. Terdengar sang air sudah marah dan siap memakan mangsanya. Akupun menenggelamkan satu lempeng benda keriting itu ke dalam luapan amarah. Terlihat sang lempeng  keriting tenggelam berhiaskan busa membumbung. Ku koyak- koyak sang keriting sampai terpisah dengan sukunya. Lempengan keriting itu sudah terurai berai menjadi pribadi-pribadi yang berdiri sendiri, tidak terikat, mereka bebas bertingkah dan  bersikap.

Setelah di rasa cukup, sang keritingpun  aku angkat dan ke satukan dengan sang penikmat. Selanjutnya  ku kacau-kacau dua sang itu agar berbaur menjadi satu sang yaitu sang  keriting nikmat. Setelah cukup mengacau, akupun tak tahan ingin merasakan sang keriting ini. Perutku semakin bergenderang kencang.
"Keriting...keriting ...keriting...". Yahhh mungkin itulah bunyi genderang itu apabila bisa berucap berpadu suara.
Akupun segera memasukkan keriting itu memasuki gua pemangsa, ku hujani keriting ini dengan para kestaria putih, ku remuk redamkan mereka menjadi kurus dan kecil, sampai akhirnya kutarik dan terjerumuslah ke lembah hitam nan dalam.
Perlahan nan pasti, bunyi paduan suara langsung menghilang. Tak ada lagi genderang. Semua damai tenteram berkecukupan, memberi rezeki pada hambamu ini.  Sang keriting adalah rejekiku yang ihklas menyuapi mulutku. Amin




Perutku bergenderang berdentangan seperti lolongan serigala jantan yang  melihat sempurnanya Purnama. Benar nian sungguh tak tertahan. Laparku ini bagai menangis di atas luka, seperti anjing yang menjulur lidah karena lelah  dari pelarian. Bagai sesosok anak kecil di perempatan lampu merah berkepala botak, berbaju lusuh, menepuk tangan, menyanyi lagu patah hati di hiasi wajah sedih bagai kekasih yang terselingkuhi.

...Menembus Langit...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar