Bab 12
Cah SD ning Ndeso
Ke
esokan hari, tibalahku dikota
kelahiran.
Embun pagi yang jernih, udara dingin menyapu tubuh. suasana asri . Suara
kaki kuda delman bertautan berlalu lalang. Emperan toko penuh dengan
dagangan sayuran segar. Para pedagang berumur sepuh menawarkan
dagangan. Berkomat kamit mulutnya mengunyah daun hijau berbekas
merah menghias bibir nan berkeriput. Sungguh damai dan tenang melihat
mereka bedagang.
Akupun menunggu di sebuah pohon beringin besar,
berharap angkutan desa lewat dan membawa kami ke kampung halaman. Hampir
1 jam angkutan desa itu tidak datang.
Dari kejauhan sebuah
mobil angkutan desa mungil kecil tapi berkepala besar membesar sekali.
Di atas mobil, dua tumpuk rumput mengulung besar, beberapa karung
arang menopang dengan 3 orang duduk dia atasnya. Didalamnya penuh
sesak bermacam sayuran, sepasang ayam jago berkokok gelisah karena di
ikatnya kaki dengan tali . Setubuh kurus anak SD hitam kumal, memakai
celana merah pendek berbaju banci karena tidak jelas warnanya apakah
putih atau abu abu bahkan dekil. kancing baju tersisa 2 di bagian atas
saja, sehingga bagian bawah terlihat perut dengan udel hitam berkerak
dagi. Tidak adanya tas, hanya sebuah buku tergulung kusut digengam
tangan. Sebuah pulpen bergelang karet terikat di kepala. Bertelanjang
kaki kotor berbalut lumpur, sisa tanah di jari kaki menggumpal kering
dengan kuku panjang kehitaman. Sungguh kasihan anak yang bergelar cah SD
ning ndeso.
"Kamu akan menjadi anak desa yang kumel dan dekil
berpendidikan rendah kalau bapak tidak bawa kamu ke jakarta walau cuma
bermodalkan nekat. Ingat it!‘’
Bapakku menyampaikan sebuah ucapan yang sangat pedas dan bermakna.
Yaaaa,
kalo saja bapakku tak nekat merantau ke Jakarta dan membawa aku turut
serta, mungkin aku hanya bisa bersekolah sampai tingkat SD saja. Aku
akan jadi anak desa yang kerjanya ke sawah, cari rumput buat ternak
sapi, cari kayu bakar di hutan sehingga aku akan tumbuh jadi remaja yang
kurang ilmu.
Cah Sd ning ndeso ini terus ku tatapi. Mencoba
mendalami kesederhanaannya atau lebih cocok kemiskinannya. Sangat tidak
sederat. Resiko menjadi anak desa. Mendapatkan pendidikan yang kurang
sempurna. Beginilah budaya Negara ini. Semakin di desa, semakin
sengsara.
"Kamu akan menjadi anak desa yang kumel dan
dekil berpendidikan rendah kalau bapak tidak bawa kamu ke jakarta walau
cuma bermodalkan nekat. Ingat itu!”
...Menembus Langit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar