BAB 31 : MEDEX


Bab 31
MEDEX

Pagiku ini berselimut jutaan tanya yang terpendam galau di hati nun paling lubuk. Jalan hidupku yang terus berbayang hitam, tersasar di sebuah hutan lebat tak berhuni. Hanya mata liar si binatang buas nan sombong seakan ingin melumat rapuhku, menjilat takutku, melebur semangatku untuk terus bertarung merubah hidup. 

Merenung diri menatap kosong. Memikir keras akankah aku terus begini. Bagaimana masa depanku nanti. Mau jadi apa aku ini. Akankah terus ku mengembara di jalanan yang mendidikku menjadi lelaki beremosi tinggi. Sering kali ku bersumpah serapah di jalan karena keterbatasan gerak seseorang dalam berkendara. Tanpa sadar, pengendara  yang terhujat  adalah sesosok tua  ingin selamat yang  enggan bergusrak  tergusruk seperti aku yang Selalu membanggakan kecepatan, meraungkan  knalpot, berkelit, memotong, menyalip membuat orang mengelus dada bahkan sampai berteriak marah sembari menyebut lengkap semua  binatang peliharaannya. "Tai anjin, Pantat babi, Muka monyet, kadal  buntung dan serapah binatang lainnya.


Lamunanku terbunuh  pudar berterbangan tak kala suara telephon genggam Nokia pisang Yang ku sayang mengumandangkan lagu kenangan. Aku terbelalak ketika mengenal nomor  Sang pengunjung. Yaahhh ini dari kantor Pramugara  itu.
"Mas pria, selamat ya, anda lulus  Psikotest, selanjutnya Mas pria  datang ke balai kesehatan penerbangan di Kemayoran untuk melakukan  medical check-up sebagai test terakhir.  Besok jam 6 pagi sudah standby ya Mas. Terima kasih."
Baru saja tadi aku terlamun, sekarang malah  berbengong dengan  Si nokia pisang tersayang yang masih  melekatkan diri ke sepasang gendang Si telinga caplang. mulutku  menganga, badanku  melemas, kaki seperti tak berpijak berasa melayang di atas air bergenang.
Psikotest yang aku benci bercaci maki, dimana aku lebih memilih di gebuki para wanita sexi daripada berjibaku dengan pertanyaan yang membuat isi otakku serasa mati suri. Yaahhh. Ternyata memberikan aku keberuntungan dan kelulusan.

“Ayo Priyo semangat. Selangkah lagi." Nuraniku meyakinkanku   memberi air suci, udara segar untuk berpengharap baru.
Akupun bersiap diri menyambut test terakhir besok. Ku putuskan untuk tidak bekerja lagi hari ini. Aku hanya ingin bermalas di rumah menyimpan tenaga. Seperti kucing persia yang tidurnya telentang ala manusia, ingin berselonjor badan di  lulur pijat oleh tangan halus  para  perawan sawangan.

Pagi benar aku sudah terjaga. Mengurus diri, membasuh kurusku ini, menyikat para ksatria putih, menggunting kuku peraba daging dan membunuh aneka bulu yang mengganggu. Kucoba merapihkan diri dengan pakaian rapih  dan Segera  bergegas meraungkan motorku menuju Kemayoran. Sudah terlihat beberapa pengunjung di balai itu. Sekumpulan pramugari yang mengelompok berdiskusi. Beberapa mata para pramugari menatap kedatanganku. Mungkin mereka mengetahui bakat terpendamku bahwa aku adalah lelaki perkasa yang bisa melindungi mereka dari apapun, ku coba sedikit melempar senyum tapi hanya wajah melengos yang ku dapat. Hahhhh sial.  Ternyata aku tak menarik seperti apa yang aku harap. Mungkin aku terlalu sangat-sangat minimalis. Ganteng ga banget, penampilan minus. Tapi  tak mengapalah. Aku hanya ingin menilai diri sendiri saja kok. Aku tak berniat menebar pesona. 

Segera aku pergi ke bilik pendaftaran dan mengantri di depan bilik sang dokter. Check pertama adalah mengambil darah dan buang air seni. Di sela mengantri, ku lihat wanita  di depanku takut  histeris melihat sang kecil tajam berdiri tegak  mengoyak kulit lembut menghisap si merah. Tampak pucat pasi si wajah cantik melihat kulit   putihnya tertusuk duri besi.  Meringis dia mendesah mesra  memanggil nama si Ayank.
Kesakitan masih  dia rasa   sesudah  duri besi di lepas. wanita itu masih menyeringai penuh ketakutan, ber-ayank-ayank dia ucapkan. Tapi dasar wanita cantik. Biarpun meringis penuh sakit, menyeringai  ketakutan jejeritan tetap saja mencerminkan wajah cantik. Beda jauh dengan  si jelek, tak kala meringis menyeringai, yang nampak  malah macam  burung hantu bertengger di ranting kering berselimut malam  dengan mata meletat-melotot  membuat menjerit  lari  orang terbirit.

Gilirankupun telah tiba. Bersiaplah aku menerima si duri besi dengan tatapan cinta. Ku pandang  duri besi itu penuh mesra menembus kulitku. Terhisap pelan si darah tercurah. Darah inilah yang harus menghantarkanku ke hidup yang lebih baik.
Di cabutlah sudah si duri besi dan di lanjut dengan di mintanya aku  mengisi sebuah botol kecil dengan air seni.
Segera ku curahkan air seniku dari sebatang  daging yang ku bangga. Dia membatu keras nan  gagah digdaya. Bagai  balokan kayu kuat yang  di jadikan ganjel truk di pinggiran pantai pantura nan berpapan kayu bertuliskan "ku tunggu jandamu" yang mana hampir bersamaan semua  truck pantura itu  berbaris rapih dan bergoyang penuh desah ketika  sang supir  bergumul basah   dengan jablay berharga 50 ribu sajahh.
 Terus kupandangi  se-batang daging batu yang siap menusuk ke  lembah gelap. Ku tusuk dengan perlahan di selarasi  musik klasik nan  romantic. Lampu temaram nan suram, mata terpejam, mendesah dalam, wajah menatap atap, ku celup, ku cabut, ku tekan, ku tarik, ku putar terus ku kubergoyang pelan dan sampai akhirrnya  

“waaaduhhhhhh”.

Lagi-lagi aku meracau. Botol tadi sudah penuh terisi bahkan sampai  luber. Kembali aku berkhayal mengenai selangkangan. Aahhhhhh. Kesal rasanya. Aku harus focus dan yakin bahwa air seni ini akan membuatku menjadi lelaki yang layak di hargai. Bukan bicara mengenai si batang batu ini. Dasar Mupeng.

Usai sudah si air seni, akupun berlanjut ke lain bilik untuk melakukan Test Mata. Di hadapkannya aku dengan sebuah papan bertuliskan huruf dan nomor. Dari mulai terbesar sampai terkecil.
"K M N"
"P B G"
Begitu seterusanya sampai yang terkecil, sampai mataku menyerah kalah, tak sanggup lagi untuk membacanya.
Sang dokter berucap agar aku terus menjaga mataku agar terhindar dari kerusakan.
Kembali aku berlanjut menuju lain bilik lagi. Setelah mengantri, gilirankupun tiba. Bilik ini di sebut Audiometri yaitu test pendengaran telinga. Setelah memasuki bilik itu, akupun segera di minta untuk masuk ke sebuah box kecil dengan memakai sebuah alat pendengaran macam head set.
"Kami akan memberikan suara atau sinyal tentang bunyi-bunyian. Kalau anda mendengar bunyian itu silahkan tekan tombol ini dan anda hanya boleh melepasnya pada saat bunyian itu hilang". Si dokter mencoba memberi penjelasan.
Akupun memasuki ruangan berkotak kecil itu dan menutupnya lagi. Segera ku pasang si headseat dan mencoba konsentrasi penuh menunggu bunyian apa yang akan ku hadapi.
"Ngiiiiiinnnnggggggg." Yahh dia datang. Inilah bunyian yang di maksudkan. Mendengung lirih hanya di telingaku sebelah kiri. Akupun menekan tombol yang di maksud. Makin lama bunyian itu makin lirih dan menghilang. Segera ku lepas jempol tanganku untuk tidak menekannya lagi.
"Ngggooooooooonnngggggg nggiiiinggggg." dia datang lagi. Sekarang di sebelah kanan. Terus ku lakukan hal yang sama. “Ngang.... nginggg.... nguunggg.... “ kuping kiri kuping kanan. Terus begitu selama 5 menit.
Setelah di rasa cukup, akupun segera ke luar  dari kamar kotak itu dan kembali mengantri di luar bilik untuk test berikutnya. 

Bilik berikutnya adalah check fisik. Setelah giliranku masuk, sang dokter yang sudah sangat sepuh, memintaku untuk menanggalkan semua pakaiannku, hanya tersisa  celana segitiga hitam yang melekat.
sepintas ku lihat  si batang batu sudah tak digdaya lagi dan tak gagah pula. Dia menjadi kecil lucu menggelikan.  seperti tanaman liar putri malu. Tersentuh langsung ciut. Bagai macan ompong tak bertaring. Mungkin karena pemandangan sepuh yang terlihat mengancam diri. Menelanjangiku untuk di siksa sampai nyeri. Hiiihhiiiiii kasihan Si batang batu, sekarang dia berubah nama menjadi Si keriput penakut.

Di  periksalah  seluruh tubuhku dari kaki sampai kepala. Entah apa yang di lakukan, aku hanya pasrah berbaring seperti wanita yang siap di lucuti . Di bukanya mulutku, di periksa dengan tembakan sinar sang lampu, di ketuk dengkulku dengan kayu macam palu.
Selesai sudah di bilik fisik, pemeriksaanpun di lanjut dengan memeriksa para ksatria putihku. Dimintanya aku berkumur, berebah dan di seranglah  ksatriaku, di ketuk-ketuk, di tusuk-tusuk. Setelah  ksatria putihku di periksa, aku diminta untuk membersihkan beberapa karang yang bersarang dan menumpang.

Akhirnya semua test sudah aku lakukan. Aku hanya di minta untuk menunggu hasil. Ku menunggu ditemani bisu. Semua yang ada di ruangan ini tampak berkawan, bercanda, tertawa ria. Aku sendiri harus dengan siapa?. Tak mungkinlah aku tanpa kenal ikut bergabung dan mencoba menjadi bagian dari sebuah perbincangan yang sama sekali tidak aku mengerti.
Mereka sangat bahagia dengan sekumpulannya masing masing. Aku masih saja membodohi diriku sendiri dengan mulut tertutup, terdiam bisu. Ku hanya menjadi sang penglihat saja. Menjadi aktor tanpa peran pendukung, berperan bisu tersendiri di hutan sepi.

Setelah cukup peranku menjadi si bisu, hasil testpun segera di umumkan. Satu persatu sebuah nama di panggil bergantian mengambil secarik kertas hasil pemeriksaan. Ada yang senang, ada juga yang menggerutu. Namakupun akhirnya di panggil, di berikanlah aku sebuah kertas, aku membaca dan terlihat tulisan FIT. Alhamdulilah. Aku fit. Aku sehat. Di mintanya aku menandatangi selembar kertas dan akupun di bolehkan pulang.
Aku sangat bahagia. Test ini sudah terlewati dengan mulus. Tak ada hinaan Si perempuan durjana. Tak ada test yang membuat otakku mati suri. Tak ada interview yang membuatku terharu. Kali ini semua terasa mulus halus. Bagai rambut gadis shampo nan lembut sampai para kutu terpeleset terjatuh. Alhamdulilah






Terus kupandangi  se-batang daging batu yang siap menusuk ke  lembah gelap. Ku tusuk dengan perlahan di selarasi  musik klasik nan  romantic. Lampu temaram nan suram, mata terpejam, mendesah dalam, wajah menatap atap, ku celup, ku cabut, ku tekan, ku tarik, ku putar terus ku kubergoyang pelan.

...Menembus Langit...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar