BAB 63 : LAUT MAJENE



Sesamaran lirih senandung lagu berteman gitar berirama mengusik telingaku.
“Aku memang pecinta wanita, namun ku bukan buaya.“ Suara Imam mendayu penuh kegalauan hati.

Suara merdu terngiang indah. Bernada serak penuh kedalaman arti. Seakan curahan hati nan tersurat penuh penyanggahan. Mengapa juga sering mencintai beribarat buaya darat. Berganti wanita tapi di juluki lelaki tak setia. Padahal setia itu apabila cinta sudah senyaman hati. Tumbuh kekuatan untuk tidak sanggup melukai. Memberi teduh, menerima sejuk. Memberi ingin, menerima pinta. Kekuatan itulah yang seyogyanya di bangun. Kalaupun rapuh, ya wajar kalau tidak setia. Buat apa mempertahankan sesuatu yang rapuh. Lebih baik di hancurkan dan membangun kembali dari awal daripada terbelenggu di atap pesakitan tak berkesudahan, galau-galaun. Kalau cinta sudah tidak senyaman hati, apa mungkin harus di paksakan demi sebuah kata sandang, “setia”

“Bro bangun, temenin gua gitaran.” Imam mengusik nyenyakku.

“Ahhh berisik lo Mam, gua masih ngantuk.” Sanggahku sambil menguap penuh hawa naga menyebar bak aroma ketek kenek metromini yang membasah di ketiak baju. Berhari tak pernah berganti. Sudah kering basah lagi, kering lagi dan basah lagi. Tertimbun menggunung menyembul aroma Bandar gebang. Sungguh nendang. Duarrrrrr.

Akhirnya akupun beranjak dari tidurku sambil ikut melantunkan lagu. Mengikuti irama gitar terpetik berselaras nada. Membuat segelas susu yang berbendera putih dan memetik api membakar lintingan putih. Menghibur diri sambil menikmati hisapan penuh asap sangat dalam penuh ketenangan hati. Bernyanyi penuh dayu.

‘’ASTAGFIRALLAH!” Imam menghentak kaget serasa mencampakkan gitarnya terbanting di dasar. Di tunjukkannya aku sebuah SMS yang baru dia terima.

“Untuk teman-teman semuanya. Mohon doanya. Penerbangan Surabaya-Manado PK-PXW telah hilang kontak sejak 1 jam yang lalu,mari kita berdoa untuk keselamatan teman-teman kita. Terima kasih".

“Astagfirallah…..Allahhu Akbar. “ Aku tersentak kaget. Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa bisa hilang kontak? aku terus berpikir menganalisa sampai suara dering berbunyi di saku celanaku.

“Yok, doain Yok, mudah-mudahaan Ratih gak kenapa-napa. Dia ada di dalam pesawat itu yok.” Arif mengabariku soal keberadaan Ratih.

“Astagfirallah. Ada Ratih di situ dan Mba Nining juga. Gimana kejadiannya Rif? apa yang terjadi? “ Tanyaku penuh ketidak sabaran. Jantungku berperang di iringi genderang. Aku bolak-balik penuh panik.

“Iya yok. Seharusnya mereka sudah mendarat di Manado 1 jam yang lalu, tapi sampai sekarang mereka gak bisa di contact. Hilang dari radar. Kalau sampai 15 menit gak ada kabar, sudah di pastikan mereka akan kehabisan bahan bakar. Mereka di perkirakan akan mengalami pendaratan darurat. Ratihh yok… ratihhhhh…” Suara Arif gemetaran penuh di iringi sesenggukan tangisan.

“Ya Allah. Ada apa ini? Apa benar mereka sudah pasti jatuh rif? kira-kira mendarat dimana? Mungkin gak mereka selamat dan survive?” Aku terus berkomunikasi dengan Arif.

“Ini aku masih di FLOPS Yok. Semua sudah pada nangis di sini. Suasana udah penuh duka. Setelah kontak terakhir, posisi mereka ada di atas laut Sulawesi yok. Di laut Majene. Kemungkinan terburuk mereka Ditching di laut itu. Mudah-mudahan Ratih selamat ya yok. “ Jelas Arif tersendat. Suara parau sesenggukan. Akupun mulai terbawa emosi. Hati mulai berkesah. Panikku sudah setinggi langit. Nafasku berhembus bagai angin puyuh menerjang roboh si pohon kelapa.Imam sendiri juga sibuk dengan telephonnya. Kami berdua berpanik diri penuh kegeelisahan. Berita sudah tersebar ke penjuru negeri. Semua station televisi terus-terusan memberitakan kejadian ini.

“Pesawat hilang kontak, Pesawat jatuh, Penumpang tak di temukan, Misteri hilangnya PK- Pxw, Perairan angker di laut Majene, Segitiga Bermuda Indonesia dll.“ Berbagai macam judul berita menjadi issu yang sangat membuat kami bergulana. Tak henti-hentinya para penyiar berita dengan berbagai nara sumber dan para pengamat, mencoba menganalisa mengenai apa yang terjadi sampai perkiraan seberapa jauh peluang para penumpang untuk bertahan hidup jauh dari mati.

Malam telah menjelang. Seluruh isi rumah sangat bersedih hati. Penuh harap supaya sahabat kami Ratih bisa selamat. Semua sibuk menyaksikan berita di TV, Menunggu perkembangan pencarian yang di lakukan leh team SAR.

“Sudah hampir 8 jam Team Sar menyisir laut Majene untuk mencari nasib para penumpang PK-AXW, akan tetapi tidak berbuah hasil. Kalaupun mereka mendarat di laut, setidaknya akan ada kepingan pesawat yang terapung atau baju pelampung yang terapung di laut, tapi pencarian berdampak negative. Kemungkinan mereka mendarat di hutan dan berharap ada yang bisa selamat dan besok kita akan kembali melakukan pencarian lagi. Semua team Angkatan Laut, para nelayan dan team SAR akan bersama-sama melakukan pencarian di laut. Sedangkan Team Angkatan Darat, para sukarelawan dan team SAR akan mencoba menjelajahi daerah hutan.” Seorang ketua team SAR menjelaskan dengan jelas megenai proses pencarian.

“Ayo doa bersama. Kita sholat dan meminta keselamatan buat teman-teman kita terutama Ratih.“ Ucap wicak memberikan saran. Kamipun segera mengambil air wudhu. Sholat bersama dan sekaligus mengadakan pengajian bersama. Sampai jam 2 pagi kami masih terus berdoa, walau ada beberapa yang sudah terpulaskan diri.

“Ya Allah, selamatkan Ratih, beri dia kekuatan untuk bisa bertahan hidup. Kuatkan jiwanya. Selamatkan dia ya Allah.“ Arif berdoa penuh linangan airmata. Sesenggukan dia melafal Asma Allah. Bersujud pasrah. Berserah diri memohon ilahi.
Akupun mulai menitikkan airmata. Ku usap punggung Arif yang tersujud penuh tangis.

“Iya Rif, mudah-mudahan Ratih bisa terus berjuang sampai detik ini.“ Ucapku penuh tangisan air mata.
Semalam suntuk aku tak bisa terpejam. Semua kenangan bersama Ratih membayangi pikiranku. Awal berjumpa dialah wanita pertama yang sudi menyapaku. Niat baiknya membantu membayarkan biaya trainingku, CRM di puncak sampai terakhir malam tahun baru. Semua berkecamuk di dalam dada mengusik hati untuk terus menangisi. Terus-terusan airmata ini mengalir. Berkali ku usap, beratus kali menetes kembali. Bagaimana nasibnya sekarang. Masih hidupkah dia atau sedang bertarung untuk bertahan hidup.

Waktu terus bergulir. Akupun lelah terlelap penuh letih.menjelang pagi aku sudah tak tersadar diri. Tertidur menangisi.

“Bang..jangan lupa sama ibu ya. Bahagiain ibumu. Jangan hura-hura. Tabungin uangmu buat persiapan masa depan.” Suara Ratih berucap penuh ceria. Aura wajah yang bersinar terang. Senyum tak berujung. Menandakan kebahagiaan hati. Perlahan dia berlalu membelakangiku. Menuju ke sebuah ujung tepi dan meloncat dengan cepat. Aku berteriak sejadinya.

“Neng..Awassss!!Hiiii…hhaaiii….stop..stoopppp. Ratihhh…Ratiiiiihhhhh…..” Aku berteriak sangat keras mengejar Ratih yang tak tersadar berjalan menuju ujung jurang. Ku terus mengejarnya sampai ke ujung tepi dan melihat Ratih tergelatak penuh darah di bawah jurang. Akupun meraung menjerit menangis sejadinyaaa…

“Ratihhhhhh….. Ratiiihhhhhhh…..”.

Ku tersentak penuh kekagetan. Ku hempas tubuhku dari ranjangku. Ku usap mataku yang ternyata lembab di basahi airmata. Ku sudutkan mataku ke arah isakan tangis. Arif duduk bersandar dinding sambil sesenggukan menangis menatap TV. Terlihat beberapa team SAR telah menemukan kepingan pesawat yang tercerai berai berkeping-keping. Sudah di pastikan PK-PXW jatuh di laut Majene.

“Astagfirallah…Astagfirallah..Ratiiiihhh..ratihhhhhhhh.
“Mba Niniiiiiing….Ratihhhhh…”

Aku istigfar berulang-ulang. Semua tubuhku bergetar hebat. Bulu kudukku merinding. Aku sesak nafas Terengah cepat. Kakiku lemas tak kuat berpijak. Aku lunglai jatuh terduduk. Ku kepal jemariku sangat kuat. Tak tahan akupun berteriak hebat....

“ Ratiiiiihhhhhhhh…Mba Nininnnnnnnnggggg……”




Ya Allah, selamatkan Ratih, beri dia kekuatan untuk bisa bertahan hidup. Kuatkan jiwanya. Selamatkan dia ya Allah.“ Arif berdoa penuh linangan airmata. Sesenggukan dia melafal Asma Allah. Bersujud pasrah. Berserah diri memohon ilahi.

…Menembus Langit…


BERSAMBUNG ......

TRILOGY NOVEL PRIYO LELAKI
BUKU PERTAMA   : MENEMBUS LANGIT
BUKU KE 2             : JATUH DARI LANGI  
BUKU KE 3  :                      "L"





BAB 62 : TAHUN BARU



Dari kota ke kota aku mengembara. Aku sangat puas dengan pekerjaan ini. Berkeliling nusantara,belajar budaya,bahasa, mencicipi makanan dengan keunikan tersendiri dan emnikmati indahnya kota yang selalu mempunya daya tarik berbeda. Yang paling sangat ku nanti adalah berlogat ala daerah dengan tingkat kefasihan yang sulit di tiru. Terkadang penasaran tapi penuh kelucuan.
Meniru logat setempat agar membeli barang dengan harga murah. Kalau logatnya seperti orang Jakarta, bisa dua kali lipat harga melonjak. Makanya pintar-pintarlah kami berpura.

Sekarang cara berpakaianku sudah berubah. Dulu apapun yang menempel di tubuhku serba murah, sekarang semua sudah terlihat mewah. Jam tangan biru pemberian emakku seharga 50 ribu, sekarang sudah pension dini berganti baru yang jumlah harganya mencapai 7 angka. Kaos yang dulu Rp.7500an sekarang berganti Gordano seharga ratusan. Sepatu pantopelku bermerk Italy, jam tangan swiss army sampai celana dalamku yang sexi ber G-string tali temali. Aku sudah bergaya hidup mewah. Gajiku yang kisaran 8 jutaan selalu ku habiskan untuk foya- berfoya. Ada teman butuh uang, aku beri pinjaman walau uangnya tak pernah kembali pulang. Punya pacar doyan belanja, gesak-gesek di mall seharian. Setiap malam tak jauh dari hiburan malam. Pergi ke club jedag- jedug minum chevas sampai jomplang. Naik mobil nyangsang di trotoar saampai pagi tak kuat pulang.

“Bang, ku dengar dari anak-anak katanya abang suka mabuk-mabukan yaa? Jangan berlebihan bang. Di tabung duitnya. Jangan boros.“ Suara Ratih menasehati.

“Maunya juga begitu neng, tapi ini anak-anak sering pada maksa supaya aku ikut, jadinya aku gak bisa nolak deh.“ Jawabku menyanggah dengan alasan.

“Ingat jaman susah dulu bang. Lebih baik kasih uangnya buat orang tua. Biar berkah. Abang sudah gak ada bapak, sudah waktunya nyenengin ibu. Balas budi sama ibu bang.“ Suara Ratih mendayu tajam menyentakkan kebengisanku.

“Ingat bang, Sebentar lagi ulang tahun abang. Umur semakin bertambah tua. Ayo berubah jadi lelaki yang sehat dan matang. Jauh dari keborosan dan mabuk-mabukan.“ Kembali Ratih menasehatiku penuh haru.

“Iya iya Neng. Makasih. Oh ya nanti aku ulang tahun, kita rayain bareng ya. Kita makan-makan sama teman batch kita. Gimana? Oke ga? ” Tanyaku.

“Makan makan makannnn. Mau mauuuu..” Arif datang ikut meramaikan suasana.
“Hai abang Arif. Kangennnnn.“ Manja Ratih sambil berpeliukan dan bercipika cipiki.
“Iya yok. Ayoo kita kumpul. Kita undang teman kita yang gak terbang. Kita silaturahmi lagi. Kita syukuran untuk batch kita.” Saran Arif penuh semangat.

Akhirnya hari yang ditunggupun tiba. Tanggal 31 desember malam, kami semua berkumpul di sebuah café sekaligus menikmati pergantian tahun baru. Yahh. Kebetulan tanggal 1 january adalah ulang tahunku. Bertepatan dengan tahun baru. Setelah semua persiapan matang, kamipun berhaha-hihi saling bercerita tentang pengalaman kami. Bergosip ria mengenai ulah keculunan di antara kita di kala terbang, senioritas yang tinggi sampai tidak ketinggalan urusan selangkangan yang di komandoi 3 jablay lanang. Di ujung sudut Ratih terlihat murung. Seperti beban berat bertengger bertumpuk di pundaknya.

“Kenapa neng, kok agak sedih gitu? “ Tanyaku sedikit menggoda manja agar dia sedikit tertawa.
“Gak apa-apa bang. Cuma merasa ada sesuatu yang aneh aja. Entah kenapa. Kok aku jadi gelisah begini. “ Ratih bergelisah penuh resah.
“Udah makan belum neng? Aku ambilin makan ya? “ Arif menawarkan diri.
“Gak usah bang. Terima kasih.“ Jawab Ratih sedikit lemas. Terdengar suara dering handphone berbunyi. Ratih tergesa mengambil miliknya dari saku celana.
“Iya hallo. …Ga ada yang lain mas?…aku dah 5 hari terbang…cobalah cari yang lain.“ Ratih tampak bercakap dan serius telaten mendengarkan.
“Ya sudahlah mas. Besok saja aku yang terbang. Siapa aja crewnya mas…ok deh. Terima kasih mas.“ Ratih mengakhiri pembicaraan dengan cemberutan.
“Tuh kan bang. Pantesan aku gelisah merasa ga enak. Besok aku revise terbang. Aahhhhh. Males deh. Aku capek bang. Aku dah suruh cari orang lain, tapi gak ada yang mau. Ya udah deh, akhirnya besok aku terbang pagi lagi. “ Celotehnya penuh kesal macam anak kecil merengek minta uang jajan.
“Ya sudah neng, sekarang mending kamu pulang dan istirahat yaa. Besok kamu harus bangun pa. “ Saranku.
“Iya deh bang. Aku pamit pulang ya. Selamat ulang tahun bang. Semoga bertambahnya usia ini, abang semakin jadi lelaki yang mapan, gak boros lagi, nabung yang banyak, jangan lupa sama ibu ya bang! “ Ratih memberiku nasehat sambil memelukku sangat erat. Tidak seperti biasanya. Pelukan ini serasa perpisahan untuk selamanya. Di gengam erat tanganku dan diapun berlalu.
“Oh iya bang. Besok aku terbang sama mbakmu tuh. Si Mba Nining. Dia kan baik ya bang? Telpon dia bang, suruh baikin aku ya, hehehehh… “ Teriaknya sambil berlalu pergi. Diapun menghampiri para sahabat untuk berpamitan. Aku dan Arif masih terus memperhatikan Ratih. Sampai tatapan terakhir dan lambaian terakhir dan diapun hilang di tengan gelap.
“Hallo mbak, Lagi apa?“ Segera seteelah kepergian ratih ku menelpon mba nining.
“Ehhh lelaki penggombal. Aku lagi mau tidur yok. Padahal mau tahun baruan, ehhh malah besok aku kena revise terbang pagi. BĂȘte baanget nih yok.“ Gerutunya sedikit kesal.

“Iya mbak, Aku tadi dapat info dari Ratih, minta tolong Ratih di pandu ya mbak. Jangan di galakin, tar lesung pipi mbak hilang lho kalau galak-galak…..xixiixixixixix“. Candaku kembali mengombali.
“Dasar kau yaa. Tiada hari tanpa merayu. Iya iyaa. Besok aku sayang-sayangin Ratihmu itu. Ohh ya selamat ulang tahun ya. Maaf gak bisa nemenin. Nanti kita rayain lagi dengan group kita ya. Besok aku tak bersolo karir dulu meningalkan kalian. Lagian aku juga bosen terbang sama kau…heheheeehh.” Ledek Mba Nining penuh ceria.
Setelah berpanjang cerita mengucap salam, akupun mengakhiri perbincangan ini. Akupun kembali menemui Arif dan para sahabatku yang lainnya.

Suara dentuman petasan dan warna-warni kembang api menghiasi langit malam penuh bintang. Jejeritan terompet meraung lapar di padu sorakan pekik histeris penuh kekaguman. Rerumunan orang sangat ramai penuh kegembiraan dan teriakan. Semua penuh semangat, Keharuan, pelukan hangat, saling bergengaman tangan menyambut detik-detik pergantian tahun.
“5..4..3..2..1..”. Selamat tahun baruuuuu.” Ratusan orang saling berteriak bersamaan dan memberi doa. Berharap tahun ini akan jauh lebih baik. Satu persatu semua sahabatku saling menyalami memberi ucapan selamat ulang tahun dan tahun baru.


Hawa dingin menusuk diri, letih badan tak di rasai. Mata berat sangat ingin terpejam. Inilah hasil puncak kemeriahan malam ini. Kamipun kembali ke ranjang peradaban. Merebah diri untuk memejam. Berharap mimpi menjadi lelaki yang berkecukupan. Cukup punya mobil mewah, cukup punya rumah megah dan cukup punya wanita berskill 3.
Skill 1 bisa menjadi ustazah. Wanita soleha yang selalu mengajakku untuk terus taat beribadah.
Skill 2 bisa menjadi koki. Pintar memasak dan mengurus rumah tangga. Selalu menghidangkan masakan lezat sehinga selalu betah untuk makan di rumah.
Skill 3 bisa menjadi pelacur. Selalu memberikan kepuasan dan kebahagiaan tak kala di atas kasur.

Alangkah indahnya punya wanita berskill 3…








Ingat jaman susah dulu bang. Lebih baik kasih uangnya buat orang tua. Biar berkah. Abang sudah gak ada bapak, sudah waktunya nyenengin ibu. Balas budi sama ibu bang.“ Suara Ratih mendayu tajam menyentakkan kebengisanku.

…Menembus Langit…


BAB 61 : MBA NINING



Hamparan awan putih bergerombol menutupi bumi. Bergumpal-gumpal berjalan berirama terbawa arus sang angin langit. Ku tatap kagum hamparan itu melalui jendela bening berlapis dua sambil ku terduduk termangu berdiam bisu. Membisu menatap keluar jendela penuh kagum. Memandang luasnya angkasa tak bertepi. Pemandangan berseni tinggi yang hanya bisa di lihat orang bersayap besi.
Yahhhh. Akhirnya aku menembus langit. Terbang melebihi tingginya awan bagai mengambang tak bergerak, yang nyatanya melesat cepat bagaikan kilat. Mengendarai sepeda motor berkecepatan 100 km/jam saja sudah melayang, apalagi si burung besi ini. Terbang melesat hampir 850 km/jam dengan ketinggian jelajah 37 ribu kaki. Kekagumanku tak terbatas. Sungguh di luar mimpiku. Aku bisa setinggi ini. Aku bisa di atas awan. Aku bisa terbang. Aku bisa menembus langit.

“Haii yok. Jangan bengong aja. Ayo temenin aku makan sini.” Suara halus menandakan betapa cantik sang empunya. Wanita muda bertubuh padat berisi. Berkulit putih halus berambut pendek di belakang leher, tapi runcing panjang di setiap sisi kanan kiri. Berlancip menutupi pipi. Inilah potongan bob nungging ala Pramugari. Yaahhh. Mba Nining. Wanita cantik yang menjadi teman satu groupku di kala terbang. Wajah bulat dengan paras halus tak bernoda. Wulan guritno. Yaaahhh. Inilah perawakan yang serasi. Apalagi apabila di sejajarkan, dia akan sangat mirip dengan artis ini. Sangat memikat penuh pesona.

“Iya Mbak terima kasih. Mba makan dulu saja, biar saya standby sambil menikmati langit. Takut nanti ada pax call.“ Jawabku penuh kehalusan kata.

Setelah di nyatakan lulus oleh Mba Rossi, akupun di release terbang dan bekerja sebagai Pramugara aktif. Bukan berstatus training lagi. Aku di tempatkan satu group dengan Mba Nining. Senior cantik berhati baik bertubuh sexi ga nahan amit. Aku bangga bisa mendampinginya. Menjadi rekan kerjanya. Berkali terbang aku terus di bimbingnya. Berkali membuat kesalahan, beratus kali dia sabar membenarkan.

“Mba, Maaf ya mbak, aku mau memuji mbak. Wajah mbak tuh mirip banget sama wulan guritno. Cantik banget.“ Ucapku sambil sedikit tersipu malu.

“Aahhhh gombal gembel kamu yok. Pasti ada maunya. Muja-muji aku.“ Sangahnya sambil terus melahap makanannya.
“Beneran mbak. Cantik banget. Aku aja sampai deg-degan ser-seran kalau bertatapan mata. Gak kuat memandang wajah dan mata mbak. Apalagi kalau pas senyum. Sumpah mba, bikin aku tenang. Ga makan satu minggu juga aku kuat mbak asal terus di senyumin mbak. Aku juga rela deh di tamparin mbak bolak-balik sampai terbalik asal sesudahnya mba mau menciumku hahahahhaahahaha.“ Kelakarku di sertai tertahannya suapan makanan ke mulut karena tertawa dia mengakak sambil terselak.

“Hahahahahhahaa….. dasar kamu ya cowo nakal, bisa aja menggoda wanita. Ehh inget aku ini seniormu. Jangan kurang ajar yaaa.” Sanggahnya sambil terus senyam senyum sedikit tertawa geli.

“Mana berani saya kurang ajar sama senior cantik seperti mbak, yang ada malah saya siap di hajar dengan jurus membanting di ranjang …hahahahhha…” Candaku penuh ngakakan.

“Saya rela babak belur mbak. Saya rela bengkak memar asalkan mba mau sedikit memberi rasa sayang mbak buat saya…hahahahaah.“ Terus aku menggoda dan merayunya sambil di ikuti cekakakannya. Jurus kegombalanku mulai tepat kena sasaran, dia sangat terhibur penuh tawa terpingkal-pingkal.

“Eh yok, buka matamu. Banyak cewek cantik di luar sana yang lebih dari aku. Kamu aja yang kurang pergaulan. Taunya Cuma aku terus. Lagian aku ini mau nikah. Doain semua lancar yaaa.” Ucapnya berpengharap.

“Yahhhh. Mau nikah ya mbak. Patah hati dong aku. Ya sudah mbak. Kalau tidak dapat gadisnya, jandapun aku siap menerima …..wkwkwkkwkk.” Rayuanku yang garing membuat Mba Nining ngakak terbahak.

“Sialan kamu ya yok. Junior tak tau diri. Ngarepin aku jadi janda yaaa. Dasar lelaki penggombal.“ Ledeknya sambil mencubitiku penuh gemas.

Asyiknya obrolan kami membuat kami sangat merasa nyaman. Mba Nining suka dengan kegombalanku yang selalu membuatnya tertawa dan aku bahagia menikmati kecantikannya yang memberiku racun semangat untuk bekerja giat.
Kami seperti para pengembara yang ingin segera mengakhiri perjalanan panjang ini. Perjalanan tanpa rintangan. Melaju kita, tapi bak jalan di tempat. Melihat bawah laut tak berdarat. Sesekali kami tenggelam ke dalam suasana gelap penuh getar. Di luar pekat putih tampak gulita. Inilah yang di sebut Diving in the sky. Suatu masa dimana pesawat akan menyelami gulungan awan tebal nan besar bagai raksasa dengan mulut lebar siap menelan dan menerkam aapapun yang melewatinya. Berbulan-bulan aku terbang dengan Mba Nining. Aku sudah jarang bbertemu dengan Ratih dan para sahabat perempuannku batch 14. Kami hanya berbincang melalui telepon dan ber-sms ria. Mendengarkan keluh kesah Ratih mengenai masalah dengan penumpang dan para senior yang bersikap kelebihan batas, keletihannya tak kala selesai terbang dan cerita hal lainnya.

5 hari terbang, 1 hari libur dan 1 hari standby. Ku habiskan setiap 5 hariku bersama Mba Nining, Mba Rika dan Yeremi. Satu hari libur dan satu hari terbang revise bergabung dengan group yang lain apabila ada yang sakit. Mba rika selalu berpasangan dengan Mas yermia dan aku bertugas di belakang bersama Mba Nining. Bersama kami mengarungi kota-ke kota. Ketika waktunnya kami RON, segera kami melanglang buana menjelajahi isi kota itu. Belanja, hunting kuliner dan menghabiskan malam diringi live music dan dentuman Dj malam. Sangat menyenangkan.

Hidupku kini sangat penuh warna. Setidaknya ini adalah kehidupan kerja yang jauh lebih baik di banding laluku. Bekerja di dunia yang berkelas, gaya hidup tinggi, penuh tantangan dan gairah penuh semangat. Selalu di kelilingi wanita yang berdandan mahal, terbalut seragam dengan bentuk tubuh berlekuk sexi yang selalu menimbulkan aura jahat untuk menyiksanya di ranjang empuk.
Suasana kerja yang sangat kekeluargaan. Team kerja yang hebat. Mba rika , Mas yeremi dan yang paling menjadi rekan kerjaku nan terindah. Mba nining.
Terima kasih Mba nining….terima kasih atas kenyamanan ini.







Mba Nining suka dengan kegombalanku yang selalu membuatnya tertawa dan aku bahagia menikmati kecantikannya yang memberiku racun semangat untuk bekerja giat.

…Menembus Langit…


BAB 60: MBAK ROSSI





Ruangan remang berminimkan cahaya. Kami semua tertunduk letih berwajah asam. Berselonjor kaki merebah punggung di kursi kayu sambil terpejam.
Hampir 10 jam kami berlalu lalang di langit tak bertepi. Dari Jakarta terbang ke medan. Dari medan kembali ke Jakarta. Di lanjut ke Surabaya dan kembali lagi ke Jakarta. Entah mengapa, walau pekerjaan ini tak banyak memakan tenaga, tapi aku bagai di injak, di pukuli, di hakimi orang sekampung dengan balokan kayu senjata di tangan. Sangat remuk redam. Letih tak terhingga. Setelah landing terakhir di Jakarta, kamipun segera berkumpul bersama untuk membahas segala bentuk kekurangan dan kesalahan kami. Mulai dari duties & check, safety knowledge, mental dan komunikasi dalam menghadapi konflik.

Mba Rossi membahas apa yang sudah kami lakukan satu persatu dengan sangat bijak. Menerangkan, memberi contoh, mengarahkan dan menasehati tentang semua kelemahan kami. Ternyata tak semudah yang kami kira. Apa yang kami pelajari selama ground training hanya sekedar pembelajaran awal. Pada saat terbanglah kita akan mendapatkan kejadian yang belum tentu kita pelajari. Di butuhkan mental dan knowledge yang kuat. Kesabaran tak berbatas dan ketulusan hati melayani.
Satu persatu kami terus di doktrinasi Mba Rosi seputaran pekerjaan kami. Masih ada 3 hari lagi untuk menyelesaikan flight training ini. Apabila sampai masa yang di tetapkan belum di anggap qualified, maka kita akan di minta untuk training ulang kembali. Masuk kelas dan belajar lagi.

“Belajar dari kelemahan hari ini agar besok bisa lebih siap lagi. Hari ke hari kalian harus semakin menunjukkan kemajuan.“ Pinta Mba Rossi.

“Priyo, saya suka semangat kamu dalam melayani tamu kita. Terutama dalam membantu mengangkat bagasi. Tapi jangan terlalu over. Kamu jadi terkesan kuli panggul. Aura Pramugaramu jadi berkurang. Bantu yang sekiranya pantas di bantu. Orang tua, ibu bawa anak, orang pendek dll. Itu yang harus kamu perbaiki nextnya.“ Saran Mba Rossi di iringi cekikikan para sahabatku.

“Untuk Nordinn, kamu seperti masih kebingungan dengan Duties&Checkmu. Kamu terlalu banyak bengong. Fisik kamu di pesawat tapi pikiranmu ke antah berantah. Gunakaan kata-kata tegas tapi sopan pada saat menjelaskan sesuatu mengenai keselamatan, sehingga penumpang itu akan mengerti dan menuruti apa yang kita pinta. Belajar lagi cara berkomunikasi yang baik yaaa.“ Saran Mba Rosii untuk Nordinn. Di balas senyum di wajah penuh pasrah.

“Wacik, penumpang itu banyak jenis karakter yang aneh-aneh. Ada yang sudah tahu aturan tapi menggampangkan. Ada yang memang belum mengerti dan ada juga yang berpura tidak mengerti. Kamu harus memberikan penjelasan yang jelas. Apabila di respon dengan nada tinggi, kamu jangan terpancing emosi. Tetap senyum tapi berbalas tegas. Jangan orang emosi, kamu balas emosi. Ingat pelajaran service excellent!” Mba Rosi panjang lebar memberi nasehat. Kami termanggut tersadar diri.

Kami bagaikan pohon tak tersirami hujan. Kering layu ingin tertumbang . Rasanya rapuh tak bertulang. Sekali petir menyambar, rontoklah badan di terjang.
Ngantuk menyiksa, letih berasa, lapar mendera. Sungguh tiada satupun pematik api untuk menyengat kulit dengan bara agar tersentak sakit menciptakan semangat juang untuk terus menjadi petarung.
Inilah yang di namakan Jet lag. Kami plonga-plongo macam anjing penjaga yang memelet lidah menatap kosong pintu berpagar. Hanya menggonggong lemah tak kala ada suara.

“Baiklah teman-teman, saya sudah tidak sanggup melihat wajah letih kalian. Inilah kita. Dari luar profesi kita terlihat manis, tapi kita sendiri akan merasa pahit apabila tidak pintar memanage waktu dan menghibur diri. Istirahatlah yang cukup. Besok atau lusa kalian harus siap terbang lagi.“ Mba Rosi mengakhiri briefing ini dengan berjabat tangan memberi semangat untuk terus belajar dan belajar.
Mba Rosi terima kasih. Sunggu sabar dan bijaksananya dirimu…





“Priyo, saya suka semangat kamu dalam melayani tamu kita. Terutama dalam membantu mengangkat bagasi. Tapi jangan terlalu over. Kamu jadi terkesan kuli panggul. Aura Pramugaramu jadi berkurang. Bantu yang sekiranya pantas di bantu. Orang tua, ibu bawa anak, orang pendek dll. Itu yang harus kamu perbaiki nextnya.

…Menembus Langit…


BAB 59 : MENEMBUS LANGIT...



“Selamat pagi. Selamat datang. ABC sebelah kiri. DEF sebelah kanan.“ Aku menyambut para penumpangku dengan sangat ramah. Nordin masih sangat kerepotan dengan kertas di tangan. Terus dia menulis sesuatu penuh kebingungan. Ku lihat wacik sibuk membongkar-bangkir baju pelampung. Entah apa yang dia cari. Belajar menghitung atau hanya berpura bersibuk diri. Ridho sendiri melamun mematung diri memelototi kertas di tangan sambil sesekali gegarukan kepala di garuk. Sepertinya para sahabatku  itu masih belum selesai melakukan check list equipment.

Satu persatu para penumpang berdatangan memadati cabin. Aku berjibaku membantu penumpangku meletakkan koper mereka, mengarahkan ke tempat duduk dan meminta mereka untuk tidak mengeblok jalan. Aku pria berdasi tapi masih berjiwa kuli. Aura kuliku masih melekat erat, lengket terjiplak kering susah di hempas. Semua penumpang yang membawa koper langsung ku sambut dan ku angkatkan koper mereka ke luggage bin. Terus terusan seperti itu. Ku lihat para sahabatku berdiri bingung mesti harus apa.

“Yok, gua mesti ngapain nih sekarang? Kasih gua kerjaan sih, biar gua ga kaya patung pancoran begini. Jangan semua koper loe angkatin semua. Bagi ke gua lah.“ Nordin memelas penuh iba. Memintaku untuk membagi jatah kerja. Rupanya dia juga ingin menjadi pria berjas yang berjiwa kuli.


Akhirnya, akupun berdiri di belakangnya. Dia yang pertama akan menyambut tamu. Datanglah seorang wanita muda. Bercelana pendek sangat pendek. Kaki putih berbetis padi. Paha mulus terlihat mulus. Menghasut mata untuk tidak berpaling muka. Pinggulnya terbungkus celana bahan tipis pendek ketat dengan pinggang kecil sungguh ramping semakin menunggingkan tonjolan belakang yang berbelah dua bak bumper semar dalam tokoh pewayangan.

Merambat ke atas kaos tang top putih transparan menyamarkan dua bulatan besar yang berbungkus kain berkacamata merah. Sangat jelas terlihat bulatan itu menggunung memuncak dan berpucuk kecil bulat. Belahan putih menggoda tiada tahan membuat si kepala botak cecenutan. Belahan yang memabukkan. Edannn benar. Aku jadi ingat wanita berkuda. Ciat ciattttttt.

Apa yang terjadi dengan Nordin? Dia hanya mematung diri. Janjinya yang ingin membantu malah terpaku. Ku lirik wajahnya sekejap gerangan apa yang tersirat. Astagaaaa…! ternyata matanya tajam tiada kedip menyudut belahan bulatan si gunung kembar.

“Nordinn….kerja kerjaaaaa.” Bisikku menyadarkan fantasinya. Dia terkaget mendengar aku bergerutu. Segera dia menawarkan diri untuk membantu. Di persilahkannya dia duduk setelah sebelumnya berkali mengusap bangku dengan jemari menjauhkan debu yang di nilainya mengganggu pinggul si wanita itu. Macam tukang ojek yang mendapatkan pelanggan pertama ala penglaris.

Setelah duduk, sekilas masih sempat melirik belahan yang jelas terlihat dari sudut tampak atas. Perlahan di angkat koper si wanita itu sambil mata terus tertuju ke belahan di dada. Dibantunya dia memaki sabuk pengaman, di mintanya menekan tombol apabila butuh bantuan. Benar-benar melayani tak hanya hati tapi juga birahi.Dasar Mesum.

“Hadeeeeh. Service sih service, tapi gak usah berlebihan gitu kali bro.” Sindirku sambil cembetutan.

“Halah. Bilang aja loe juga mau. Ngiri kan? ntar gua kasih ke loe kalau ada lagi. “ Balasnya sambil cecengiran. Tetap matanya mendarat bebas ke belahan penuh misteri birahi.

Nordin terus membantu mengarahkan penumpang. Mengangkat koper tapi tidak mengelapi kursi dan menekan tombol. Itu hanya servis pribadi untuk wanita sexi tadi.

“Yok. Giliran loe sekarang. Tuh ada tamu kebingungan. Bawa barang gede pula. Jatah loe tuh. “ Nordin memintaku untuk berganti posisi.


Astaga…kampret si Nordin. Bukan barang bawaannya yang gede tapi memang badannya yang gede. Setubuh wanita bertubuh besar. Berbetis gajah. Tak jelas mana pinggul mana pinggal mana perut. Semua tampak seperti gelondongan. Dua bulatan di dada terlihat besar, mengelandur-gelandur berlonjong panjang hasil kawin silang antara nangka buto dan pepaya jumbo. Lehernya besar berlapis-lapis bak shock beker motor kredit milik Pak Bakri si mandor tebu. Hidungnya besar bagai centong sayur. Matanya meletat melotot bersipat hitam bagai kunti cekikikan gelayutan di atas pohon asam. Semua terlihat mengerikan.
Ku lirik Nordin sambil ku pasang bibir cemberutan,“kampret kau” Mulutku sedikit meracau di balas cekikikan Nordinn penuh kepuasan. Duduklah dia di kursi dekat jendela darurat. “Wahhh kasus nih.” Batinku sedikit khawatir. Sepertinya masalah akan datang. Sesuai aturan, orang yang berbadan besar tidaklah di perbolehkan duduk di dekat jendela darurat Karen akan semakin menjadi penghalang evakuasi. “Ahhh biarkan saja. Toh ini nanti bakal jadi jatahnya Nordin.“ Batinku sedikit meringis diri.

Dari belakaang Nordinn celingukan memandangku sambil terus menunjuk nunjuk ke arah wanita berbadn besar itu, seperti memintaku agar memindahkannya. Aku hanya sedikit mengerutkan dahi di susul Bimoli (bibir monyong lima centi) berpura tidak tahu apa yang terjadi.

“Makan tuh jatahmu van, jangan belahan dada aja yang loe urusin.” Bisikku sambil cekikikan bibir nyengir. Ketika penumpang sudah komplit, waktunya Novan untuk melakukan briefing Over Wing kepada penumpang yang duduk di dekat jendela darurat. Novan berbolak balik menyibukkan diri tanpa tahu apa yang dia cari. Sepertinya kebingungan kemana wanita gendut itu hendak di pindahkan.

“Nordinn! Ngapain kamu mutar-muter kaya gangsingan? Segera kamu briefing penumpang di over wing”. Perintah Mba Rossi agak worry dengan gedebukannya si Nordinn. Akupun sibuk dengan bagianku yaitu membagikan Infan life vest kepada penumpang yang membawa bayi sekaligus memberikan special briefing.

“Permisi selamat pagi ibu. Ini baju pelampung untuk anak ibu, di pakai hanya pada saat keadaan darurat saja. Jangan di buka ataaupun di sobek ya bu, nanti setelah tiba di kota tujuan, saya akan mengambilnya kembali.“ Aku melakukan briefing dengan kata manis, melebihi manisnya jagung bakar di kawasan puncak tretes Pasuruan.

“Dan apabila masker oksigen jatuh seperti ini, segera tarik dan pakai ke ibu terlebih dahulu, sebelum membantu anak ibu. Terima kasih bu. apabila kurang jelas, jangan segan memanggil kami kembali. Selamat terbang.“ Lagi-lagi aku bergaya ala waria yang ingin memanjakan pelangannya dengan kata penuh ramah. Aku sunguh tidak sadar, yang dulunya urakan, sekarang berubah lembut melebihi lembutnya serabih jogya.mak nyus tak kala di rasa.
Sementara itu ku lihat Nordinn berbincang penuh keseriusan dengan si wanita raksasa. Ini adalah usahanya untuk berupaya memindahkan wanita besar itu ke kursi lain asalkan jangan di jendela darurat. Terlihat terjadi perdebatan. Sepertinya wanita itu bersikukuh tidak mau di pindahkan.

“Badan saya ini besar, di pesawat ini Cuma di dekat jendela ini space untuk kaki yang paling lega. Kalau kamu pindahkan saya ke tempat selain ini, saya bisa terjepit. Kamu tidak boleh membeda bedakan dong. Saya juga harus punya hak yang sama. “ Dalih wanita besar itu. Novan terlihat gugup tak tahu harus berucap dan bertindak apa lagi. Dia seperti orang linglung yang sesekali menatapku dan Mba Rosi yang sedang mengamatinya.

“Boleh saya bantu novan mbak?“ Pintaku meminta izin.
“Jangan yok, biarkan dia belajaar menghadapi masalah. Sampai sejauh mana dia punya skill solves problemnya.” Mba Rosi menolak pintaku.

Kami terus mengamati Nordinn, berkali memberikan penjelasan tapi berkali wanita besar itu tetap tidak mau dipindahkan sampai akhirnya wanita besar itu berdiri dan mendorong Nordinn sampai terjatuh ke belakang. Meluapkan emosi bercaci maki. Aku dan Mba Rosi pun bergegas mendekati. Mba Rosi mendekati wanita besar itu dan terlihat menjelaskan sesuatu. Aku membantu sahabatku ini untuk berdiri dan merapihkan diri. Ku ajak dia pergi meninggalkan wanita besar itu. Entah perbincangan apa yang terjadi, wanita besar itu sudi berpindah diri. Pesawat sudah penuh dengan penumpang. Aku dan sahabatku sibuk meminta penumpang untuk mematikan telepon genggamnya. Di depan terlihat Wacik sedang bersitegang dengan salah satu penumpang yang sibuk bertelepon ria.

“Silahkan di matikan teleponnya pak. Pesawat ini akan segera di berangkatkan.“ Pinta wacik dengan sedikit kental logat surabayaannya.

“Iya. Saya juga tahu diri kok. Kalau nanti pesawatnya berangkat akan saya matikan.“ Sekilas jawaban ketus sambil terus berbincang lagi.

“Maaf pak. Tapi telepon bapak harus sudah di matikan sekarang juga karena ini demi alasan keselamatan banyak orang di pesawat ini.“ Wacik menjelaskan dengan nada sedikit tegang.

“Eh Mas Pramugara! Saya bukan orang bodoh ya. Saya orang yang taat aturan kok. Tidak mungkin saya tidak memaatikan handphone saya. Nanti kalau saya selesai bicara juga akan saya matikan.“ Jawab penumpang penuh kesal.

“Kalau bapak taat aturan, harusnya bapak sudah mematikan telephon bapak dari awal memasuki pesawat ini, karena begitu peraturannya. Bapak mengerti aturan atau tidak?“ Balas Wacik dengan nada tinggi dan kesal yang teramat.

Akhirnya adu bacotpun tak bisa di elakkan. Penumpang itu beremosi begitu juga wacikku sang jagoan Surabaya. Wacik tidak suka di bentak dengan cara kasar. Dia merasa melakukan sesuatu yang benar. Aku hanya bisa berdiam diri. Bingung harus melakukan apa. Akhirnya kembali Mba Rosi menengahi. Akupun membawa wicak pergi sambil terus dia memelototi penumpang berhandphone itu.

“Dia pikir gua anak kecil apa? Di bentak-bentak diam aja. Asuuu tuh penumpang.“ Gerutu wacik terus menerus.
Sementara itu Ridho di bagian depan sibuk mondar-mandir penuh wajah tegang.

“Yok. Gua mesti kerja ngapain lagi nih. Bingung gua?” Bisik ridho dengan wajah asam campur asinan. Sangat penuh aura kegelisahan.

“Udah loe mondar-mandir aja. Pura-pura ngecheck apaan kek, yang penting loe jangan diem begitu. Plonga-plongo bengang-bengong.“ Saranku sambil sedikit senyum mengejek.

Seorang tua tampak berjalan sambil celingukan seperti kebingungan. Bagasi besar di tenteng di tangan. Wajahnya yang keriput dengan gigi yang hampir tak berbentuk membuat pria tua ini memberi iba untuk segera ku layani.

“Selamat pagi pak. Bisa saya bantu. Nomor berapa tempat duduknya?“ Sapaku sambil mencoba ingin membawakan bagasinya.

“Tak usah kau bantu. Kau pikir aku tak tahu dimana nomor dudukku.” Suara keras berlogat Medan sangat kental. Aku seperti di bentaknya. Niat baikku untuk membantu di muntahkannya. Sedikit terjaget sambil mengelus dada sambil memperhatikan bapak tua itu bercelingukan ria. Semakin aku perhatikan dia semakin kebingungan.

“Maaf pak. Tempat duduk bapak nomor berapa?“ Kembali aku coba menawarkan diri untuk membantu.
“kau itu. Sudah ku bilang aku tak mau kau bantu. Aku taulah dimana aku duduk. Sudah pergi sana.“ Astagaaaaaa….lagi-lagi niat baikku di mentahkan. Terus dia berjalan menuju ke tengah cabin. Terlihat Mba Rosi berpapasan dan terjadi sebuah percakapan. Mba Rosi menunjuk kearahku dan berkedip memberi kode untuk membantu bapak tua itu.

“Dasar bapak tua ortodok. Tempat duduknya nomor 1A paling depan malah keluyuran sampai ke tengah. Tadi niat di bantu di bilangnya tak mau.“ Gerutuku penuh kesal dongkol segede buah kedongdong menjedol di tenggorokan.

Mba rina pun bersiap untuk menutup pintu. Segera kami mempraktekkan tugas ini. Dengan kekuatan penuh, ku tarik pintu ini ke samping dan kearah dalam. Ku pindahkan girt bar nya kearah bawah lantai, attach dengan snap hooknya. Ku silangkan red flagnya dan kemudian berucap, “Doors arm and cros check. “

Pesawat perlahan sudah mulai Push back. Sekarang tiba waktunya kami untuk melakukan demo safety. Kali ini adalah jatahnya wacik dan ridho. Mereka terlihat sudah bersiap diri. Siap dengan raut wajah gelisah pucat pasi. Siap dengan keringat di dahi yang terus di usapinya berkali-kali. Aku bisa merasakan ketegangan mereka. Berdiri di amati beratus mata. Semuat mata tertuju padanya. Perlahan Mba Rina membacakan announcement dengan penuh kemerduaan suara. Di awali dengan perkenalan awak pesawat yang di sambut senyum palsu si wicak dan ridho. Senyum berbeban 5 kilo gram. Sangat berat dan memaksa di paksa. Senyum di bibir tapi menangis di hati. Ketegangan tingkat tinggi tersirat di wajah tak bisa di bohongi. Keringat sebesar jagung menempel gagah di sekitaran dahi mengalir berjatuhan membasah ke leher. Gerakan yang terlihat kasar. Bagai robot penuh kekakuan. Sangat tidak sedap di pandang mata. Tidak selayaknya dengan para Pramugari seperti biasanya. Cantik berhias senyum, gemulai gerakan menggoda mata untuk terkesima. Kali ini sangat bagai bumi dan langit. Sangat jauh berbeda. Demontrasi ini benar-benar hancur berantakan membuat beberapa penumpang cekikikan. Apalagi gerakan yang kejar-kejaran yang terkadang tak sama. Sungguh sangat mengocok perut. Beberpa penumpang ada yang terkesima penuh keheranan, saling senyum bahkan tertawa kegelian melihat kelucuan gerakan para sahabatku itu. Begitu pula aku.

“Priyo. Jangan di ketawain!“ Bisik Mba Rosi menegurku.

“Iya maaf mbak. Tapi mereka lucu mbak.“ Sambil terus menyumpal mulutku menahan tawa.

Wajah semakin merah. Gerakan makin tak terkendali. Wacik dan Ridho semakin terlihat kebingungan. Bingung karena ratusan mata memandangnya penuh keanehan. Ada yang tertawa senyum bahkan melongo keheranan.
Akhirnya selesai sudah demo safetynya. Setelah melakukan final cabin check before take off, aku duduk berkumpul bersama di kursi belakang.

“Puas loe yee ngetawain kita. Asuuu.” Gerutu wacik sambil mengelap-elap keringatnya.
“Awas loe yaa. Bakal gua ketawain ntar kalo giliran loe yang demo.” Ridho menimpali. Aku dan Nordin hanya cekikan berdua.

“Makanya jangan otak kotor terus. Fokus sama gerakan. Selangkangan terus sih yang di pikirin jadi gak kompak deh. Wkwkwkwkwkk….” Nordinn meledek penuh kegelian.

Kamipun segera duduk dan mengenakan sabuk pengaman. Suara deru mesin menggeru memecahkan telinga. Sangat keras dan berisik yang teramat. Aku mulai gelisah. Aku sunguh terlihat ketakutan. Suara mesin semakin menderu tinggi dan bertambah keras. Perlahan pesawat ini mulai berjalan lambat, mulai agak cepat dan semakin cepat dan akhirnya melesat berkecepatan tinggi.
Tiba-tiba saja ku rasakan beda dalam diri. Aku merasa tak nyaman. Perutku berkontraksi mual serasa ingin muntah.

“Wuekk wueekkk…..” Mulutku meracau.
“Eitsss eitssss… jangan yok, Jangan yok. Jangan muntah. Kasusss loe?“ Suara Nordinn ketakutan terkena muntahan.

“Asuuuu…tampang preman. Mantan pentolan tawuran. Masa naik pesawat mabukan? Ndesoooooo loe yok.“ Wacik mencela penuh ketakutan. Takut mereka terkena muntahan juga.

“Ini pertama dalam sejarah gua naik pesawat bro.” Ucapku sambil terus wak-wek wak-wek. Mataku merah, keringat dingin bercucuran. Ku dekatkan kantong muntah ke mulutku takut mengeluarkan muntah secara dadakan. Novan mencoba memijat leherku untuk membantu mengelurakan muntah ini. Tapi tak bisa.



Pesawat terus membumbung tinggi. Terbang bebas meninggalkan bumi. Menembus langit menabrak awan. Menghantam gelombang angin terus menanjak menjelajah langit. Akupun terkesima memandang ke bumi. Aku terharu. Di sela rasa mualku, aku sedikit terobati. Aku terbang… aku sudah bisa terbang tinggi sekarang. Aku sudah bisa menembus langit..
Linangan airmata bergelombang menumpuk diri. Tak sangka di sangka aku bisa setinggi ini. Yaahhh. Inilah awalku….inilah ceritaku…..menembus langit….




Dua bulatan di dada terlihat besar, mengelandur-gelandur berlonjong panjang hasil kawin silang antara nangka buto dan pepaya jumbo. Lehernya besar berlapis-lapis bak shock beker motor kredit milik Pak Bakri si mandor tebu. Hidungnya besar bagai centong sayur. Matanya meletat melotot seram bersipat hitam bagai kunti gelayutan cekikikan di atas pohon asam.

…Menembus Langit…


BAB 58 : FLIGHT TRAINING




“Itu punyaku ,ini punyamu, ini dasi siapa? Siapa yang sepatunya nomor 40?” Suara bergaduhan macam di pasar obralan.

Suasana di kelas ini sungguh ramai. Di kelas bagai kapal pecah. Berkeping barang berarakan. Dari mulai setelan jas warna orange, tumpukan celana hitam, baju kemeja putih, sepatu, dasi, wing dan name tag, handbag dan trolybag. Hari ini adalah hari pembagian seragam. Semua temanku sibuk berpose diri. Menggenakan seragam baru, berkaca bermenit dengan berpuluh pose. Hanya aku sendiri yang sibuk menatap polah laku para sahabatku ini. Aku hanya masih tidak menyangka akan bekerja memakai jas berdasi, bermandikan wangi jauh dari keringat, terbang ke penjuru negeri menjadi Pramugara yang baik hati. Mimpi apa aku ini?
Dulu aku hanya anak gudang. Kuli pabrik. Kurir jalanan. Berpanasan, berkeringatan, berseragam lusuh, berbau sengat panas matahari. Sangat jauh dari kata wangi. Pantaskah aku memakai seragam ini. Ini adalah jass pertama yang akan aku pakai dalam sejarah kehidupanku. Cocokkah aku bergaya Pramugara? aku terus di bayangi keraguan dan tidak percaya aku bisa sampai di titik ini.

“Selamat pagi semuanya. Saya minta perhatiannya. Tolong dengarkan dan jangan berisik!” Yahh itulah dia si perempuan itu lagi. Lama tak jumpa sekarang bersua lagi. Sudah berhari aku tenang tiada hinaan, sekarang sudah harus bersiap diri menunggu cacian lagi.

“Dengarkan baik-baik ya. Silahkan semua mengambil seragam dan perlengkapan terbang kalian karena mulai besok, kalian akan mengikuti jadwal flight training. Ini adalah pendidikan terakhir kalian sebelum terbang, jadi jangan sampai tidak lulus training ini.” Durjana berpidato dengan mulut mengerutu sungat sungut. Apalagi tak kala matanya menatapku. Segera dia membuang muka sambil mengibaskan rambutnya penuh cerita. macam pemeran sinetron antagonis sedang menganiaya pemeran utamanya.

“Berikut ini adalah kelompok yang sudah di bentuk. Kelompok pertama Arif, Rendra, Imam dan Jarot. Kelompok kedua Igbal, Zul, Bona dan Dwi . kelompok tiga Wacik, Nordin,Ridho dan Priyo.“ Ucap siPerempuan

“Aduuuhhhhhh.” Gerutuku dalam hati. Kenapa aku harus satu group dengan para jablay lanang.
“Hallo bro. kita barengan nih. Kita belajar bareng yaa di rumah kost gua. Loe ga usah pulang ke Priok ok. “ Sapa Ridho dengan gaya cengegesannya.

“Tenang brother. Kita akan serius kok. Ga akan lagi kita becanda membahas selangkangan. Jadi loe ga perlu worry..xixixiixxxi..” Wicak menambah kata penuh ledekan di iringi cekikikan Nordin dan Ridho.

Mereka bertigapun merayuku dengan candaan dan guyonan ala selangkangan. Yahhh mudah-mudahan aku bisa fokus dengan satu group yang penuh candaan ini. Para sahabatku yang istimewa.
Malam harinya akupun mempersiapkan diri untuk menghadapi training besok pagi. Ku satukan dasi, kemeja putih dan lipatan celana hitam dan ku gantung rapih di atas pintu. Di lanjut dengan kesibukanku memasang wing penerbang di sisi kiri jasku dan di bawahnya terpampang sebuah name tag bertuliskan namaku.

Sudah selesai dengan persiapan seragam, akupun memulai membaca kembali duties&check seorang pramugara dari mulai memasuki bandara, menuju ke FLOPS, naik ke pesawat sampai landing kembali. Apa yang akan aku lakukan sesampainya aku di pesawat, apa saja kerjaku nanti dan bagaimana alurnya. Semua aku dedel menit permenit dengan sangat detail. Aku harus siap terbang. Sudah waktunya aku mendapatkan gaji. Aku sudah tak tahan menahan kekurangan ini. Menahan makan enak, menahan minum sedap karena semua serba pengiritan. Aku harus segera mengobati kemiskinan ini.

“Yok kalau besok aku bingung gak tau mesti harus apa? loe bantuin gua ya?” Nordin meratap penuh wajah melas.

“Kok kayanya loe dah siap ya yok. Gua masih bingung mesti ngapain aja nanti. Pusing …pusing kepalaa gua Yok.” Sanggah Wacik penuh ratapan gelisah.

“Ahhh biarin aja yok. Yang pusing bukan kepala atas tapi kepala bawahnya tuh. Makanya dia gak bisa mikir pelajaran. Pikirannya ga jauh dari selangkangan terus ..hahahhahah.” Ridho memecah suasana sendu ini dengan gelak tawa. Lagi-lagi kami cekakankan penuh cekikikan.

Semalaman aku tidak bisa terpejam. Otakku sibuk membayangkan apa yang akan terjadi esok. Ku lihat Nordin sudah tertidur nyenyak. Di sebelah kamar, ridho dan wacik juga sudah tidak bersuara. Aku hanya menatap ruang ini penuh pertanyaan. Tak sabar ingin ku bertarung menguji diri. Sampai sejauh mana aku layak menyandang pekerjaan ini. Pramugara langit.
Suara detak jarum jam mengiri hening malam. Sesekali cicak kecil menampak diri dan lagi bersembunyi di balik jam bulat yang tergantung diri. Suara ngengiungan nyamuk penghisap darah memecah telingaku membakar emosi untuk ingin berkejam diri membunuh dengan jurus tepukan tapak sakti. Mati dia berkeping di bubuhi darah memuncrat mengotori telapak ini. Di lain cara, ku hempasakan sarung berkotak warisan bapakku untuk menghantarkan mahluk ini ke peti mati. Mereka terus menyerangku untuk tidur jauh dari lelap.

Waktu sudah menunjuk pukul 02.00. satu jam lagi aku harus sudah mandi dan berkemas diri. Bersiap memulai pertarungan setelah berbulan aku menempa diri. Bertarung untuk melawan kejamnya hidup ini. Akupun kembali melakukan pengechekan ulang semua peralatan terbangku. Mulai dari passport, sertifikat, baju seragam ganti, sewing kit, peralatan mandi. Baju ganti, flashlight,spare batrenya dll. Ku semir ulang sepatu hitamku. Ku seterika kembali seragamku agar lebih rapih dan segera bergegas mandi.
Air mengguyur tubuhku, membuat menggigil sangat berasa dingin. Tak butuh lama akupun keluar dari kamar mandi. Ku pakai seragamku satu persatu. Ku kaitkan dasiku, ku kenakan jass penuh kemegahan ini, ku usap rambutku dengan gel pengeras rambut, kutata rapih dan ku acak kembali dan berkali ku ulangi sampai aku menemukan gaya rambut yang ku sukai. Rambut bergaya penangkal petir.
Jam 03.00 tepat aku sudah siap. Ku tatap Novan masih terlelap. Akupun membangunkannya dan di sambut dengan kekagetan yang teramat. Ibaratkan kebakaran menyambar rerongsokan rumah triplek, dalam hitungan jari menjadi besar. Paniknya sangat kepalang. Dia kaget melihat aku sudah rapih dengan seragamku. Diapun meloncat dan berlari ke kamar mandi sambil terus berguman menyalahkanku. Berpikir dia sudah bertelat diri. Akupun berlanjut ke kamar sebelah. Lagi-lagi mereka tertidur pulas bertindihan. Bagai katak melompat tinggi, mereka terperanjat pontang-panting berebut kamar mandi.
Pukul 04.00 kami sudah bersiap diri. Berada di dalam mobil jemputan menuju kawasan perang. Kami semua terlihat tegang. Tak ada satupun suara. Masing-masing sibuk membaca buku tebal.

Ku injakkan kakiku di airport ramai penuh megah. Beratus orang berlalu lalang bersibuk diri. Kami berjalan cepat, berbaris memanjang melaju memasuki pedalaman bandara menuju Flops melewati puluhan penumpang yang duduk menunggu waktu keberrangkatan tiba. Berjalan tegak, menyeret koper, berjas terang menyala, membuat kami terlihat bagai sekawanan anak itik yang mengekori induknya. Terlihat berpuluh mata memandangi kami. Aku berjalan di urutan depan penuh percaya diri, tersenyum lebar walau tak ada orang yang membalas senyumku. Nordin, wacik dan ridho menyusul di belakang.

“Yok kampret kau. Jangan cepet-cepet lah.” Bisik nordin dari belakang yang tampak ngos-ngosan. Ku tengok ke belakang sambil terus berjalan di sambut wajah asam cembetutan oleh 3 jablay lanang. Terlihat kesal tapi tak terungkapkan. Akupun hanya tersenyum tipis sambil terus memacu langkahku.


Tibalah kami di ruangan yang ku tunggu. Ruang penuh lampu terang dengan dinding berwarna orange di tembok kiri, warna hijau di tembok tengah dan tembok kuning di sudut kiri. Sangat ramai melebihi ramainya toko tukang cat. Di dalam ruang di padati para pramugari cantik yang akan bersiap diri ingin terbang ke penjuru negeri. Akupun meletakkan koperku dan segera menuju ke deretan komputer untuk mengabsen diri. Selanjutnya ku salami berpuluh pramugari untukku memperkenalkan diri. Satu persatu ku jabat, satu persatu wajah asam ku dapat. Berbalas sinis, di balas datar tanpa respon menyenangkan. Judes dan tidak bersahabat. Ada yang menepis tanganku, ada yang tidak mau kusalami ada pula yang bersikap kasar. Dari sepuluh yang ku jabat hanya satu yang mungkin berbaik hati.

“Selamat pagi mbak, perkenalkan nama saya priyo batch 14.” Ku arahkan tanganku sambil melempar senyum tak berujung.
Aku lirik ke sudut lain terlihat para sahabatku juga mendapatkan perlakuan yang sama. Benar lingkungan yang aneh. Sangat tidak mencerminkan image sebagai orang yang bertugas melayani.

Setelah selesai menyalami semua penghuni di ruangan ini, akupun menuju meja administrasi. Ku lihat sebuah catatan yang berisikan tentang kemana dan dengan siapa aku terbang. Inilah yang di namakan flight information.
PK AXC etd.06.05 cgk-sub-cgk-mes-cgk
Crew composition :
Kapten : AK. Farid
FO : sandy nugraha
Cabin crew : Rina juniarti, Yeremia, Lanny, Virna
SNY : Priyo, Wacik, Nordin, Ridho
Instruktur : Rossi witham
Yaah. Itulah crew list yang menjadi agendaku hari ini. Dengan merekalah aku akan menghabiskan hari ini penuh ketegangan. Dengan merekalah aku pertama kali akan terbang. Memulai perjalananku untuk menjadi Pramugara sejati. Akupun duduk di depan pintu masuk untuk menyambut kedatangan seniorku. Macam pagar bagus, kami berbaris berdiri dan menyalami para senior yang memasuki ruangan ini. Lelaluan silih berganti, bermacam tubuh sexi berkelebatan memberi aroma harum wangi parfum penuh kelas tingkat tinggi. Ini pemacu semangatku untuk terus menyalami para Pramugari cantik ini. Ingin menikmati pemandangan indah yang membelalak mata dan terkadang menegangkan otot-otot di bawah sana. Apalagi dinginnya pagi semakin menambah keteganan ini semakin menjadi.

“Ssssettttttt…Ssstttttttt..Pusinggg.” Wacik memanggil berbisik lirih sambil menggaruk dan membenarkan senjata dibawah sana yang sepertnya berontak rontak ingin ambil bagian.

“Dasaaarrrrrrr luh. Selangkangannn trussss.“ Ledek Nordin sedikit berwajah tegang. Kami terus bersalaman ria. Inilah yang di ajarkan pada saat training bahwa sebagai pendatang baru kita harus tanpa lelah memprkenalkan diri sampai mereka kenal siapa nama kita.

Tak lama menunggu akupun di panggil Mbak administrasi untuk memberitahukan kedatanga Mba Rossi. Sesosok tubuh langsing tinggi, berwajah dewasa, terlihat berumur tapi terpancar aura angun dan cantik tiada tara. Polesan make up tebal berblas on merah merona di padu eyeshadow hijau dengan lipstick merah cerah berambut pirang keemasan, membuat penampilannya sangat terlihat berkelas dan berpengalaman.

“Selamat pagi mbak. Saya priyo batch 14.” Ucapan penuh rasa hotmat di ikuti jabatan tangan ku hantarkan penuh kepatuhan. Tak ketinggalan para jablay lanang menyusul mengikuti.

“Haiii selamat pagi. Kalian berempat yang SNY hari ini ya? Oke beri saya waktu 5 menit ya, nanti kita briefing bersama. Sekali lagi saya ucapkan selamat datang di perusahaan ini.” Senyum manis dan sambutan yang sangat hangat penuh persahabatan.
Kembali kami duduk di depan pintu masuk dan lagi-lagi meneruskan hajatan ini. Menjadi pagar bagus.

“Baiklah Priyo,Wacik,Nordin dan Ridho, sekarang kita akan bergabung dengan crew aktif untuk melakukan Preflight briefing, Mari ikut saya.” Mba Rossi mengajak kami ke sebuah ruangan sepi. Ruangan ini sangat rapih dan tenang. Berbaris meja kursi yang tertata indah. Terlihat satu set crew sedang berbincang membahas sesuatu yang terlihat tegang.

“Baiklah cowo-cowo gagah, kenalkan ini adalah crew aktif yang akan bertugas hari ini. “ Mba Rosi meminta kami untuk menyalami.
Selanjutnya kamipun memulai Pre-flight briefing ini. Kami ber-empat hanya di minta untuk mendegarkan saja.

“Baiklah teman-teman semua. Hari ini kita akan terbang 4 sektor ke Surabaya dan medan bersama kapten AK.farid dan FO sandydan saya Rina akan incharge sebagai P1, lani P2, yeremi P3 dan virna P4. Penerbangan ini juga akan di ikuti oleh para teman-teman baru kita yang akan melakukan SNY yang di pandu oleh Mba rossi.” Mba Rina memulai briefing ini dengan sangat santai tapi serius.

“Baiklah terlebih dahulu kita check dokumen–dokument kita. “ Pinta Mba Rina sembari mengeluarkan bermacam jenis persyaratan terbang.

“Baiklah. Selanjutnya kita akan sharing mengenai safety.” Ucap Mba Rina yang semakin membuat kami deg-degan. Inilah momok menakutkan buat kami karena di sesion inilah kami akan tersingkir dan tidak jadi terbang apabila kita tidak bisa menjawab pertanyaan yang di berikan oleh cabin one.

“Untuk Mba Lani. Please do command terrain Un-Prepaire!” Titah Mba Rina kepada Lani.

“When we heard command from capten brace-brace, We have to shouting to our passenger emergency-emergency, bend down, hold your knees. Bahaya bahaya membungkuk peluk lutut then keep shouting until the aircraft come to complete stop.” Jawab lanni sangat meyakinkan.
“After Aircraft completely stop the capten will give command evacuate evacuate. What is the next action Mba Virna? “ Tanya Mba Rina kepada Virna.

“I will shouting to the passenger open seatbelt, leave everything, shoes off, come this way, hurry-hurry. Buka sabuk pengaman, tinggalkan semua barang, lepaskan sepatu, kemari, cepat cepat.” Jawab virna penuh jiwa dan mental yang siap tempur apabila benar terjadi keadaan bahaya. Sangat berjiwa kuat. Wajah tak hanya cantik jelita tapi juga berjiwa ksatria. Mungkin berbeda dengan pria jablay lanang ini. Tubuh sekuat pejantan, tapi hati bernyali waria. Wajah bagai jelangkung tapi nyali ala berondong jagung. Haaaahhh. Dasar.

Pertanyaan demi pertanyaan di berikan Mba Rina untuk memastikan crewnya masih standar untuk terbang alis qualified. Terlihat di group sebelah ada beberpa crew yang sempat di bentak-bentak oleh cabin one nya karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Mataku terus jelalatan memperhatikan group yang sedang melakukan Preflight briefing. Ada yang gagap menjawab, tidak bisa sama sekali sampai menangis karena di caci maki. Hahhhhh. Budaya yang aneh.
Tak lama kemudian kapten Ak farid dan FO sandy mendatangi kami. Setelah berkenalan, beliapun memberikan informasi mengenai penerbangan ini. Dari mulai keadaan cuaca, kondisi pesawat, alternate airport, hijack code, flying time dan beberapa informasi apabila menghadapi keadaan darurat.


Setelah berdoa bersama, kamipun bergegas menuju si burung besi. Berjalan kami rerombongan, berbaris berpasangan, mendekat menuju sebuah besi yang sangat besar di hiasi gemerlap lampu terang, jendela berbaris di sepanjang sisi, sayap terbentang lebar siang melayang. Sebuah pintu mungil di topang tangga untuk dinaiki. Menapak tangga kami langkah selangkah, semakin deg-degan jantung berdetak. Inilah pertama kali aku menaiki pesawat. Sampailah aku tepat di depan pintu. Berdiri termangu memaku diri.

“Yok. Buruan masuk. Ngapain sih.“ Novan mendorongku karena terheran melihatku berpatung diri.
“Ya Allah. Beri hambamu ini keselamatan dan kesuksesan dalam menjalani tugas ini …amin.“ Ku lafalkan doa dan siap melangkahkan kaki memasuki si burung besi ini.
Sesampainya di dalam akupun segera meletakkan koperku di luggage bin. Segera ku lanjut dengan melakukan Emergency equipment check list yaitu mendata semua alat-alat keselamatan yang ada dalam pesawat ini. Memastikan apakah masih dalam kondisi baik atau sudah expired. Novan terlihat celingak-celinguk dalam melakukan check list. Dia terlihat bingung apa saja yang harus di data. Lirak lirik matanya mencari barang yang belum di ketahui keberadaannya. Usai bercheck list ria, akupun melaporkannya ke Mba Rossi .

“Excuse me Mba Rossi. Let me report to you. All safety equipment check and no defect. The nearest expired date is fist aid kit. 8 august 2006. Thank you.” Laporanku di terima baik oleh Mba Rossi dengan senyum penuh sumringah. Selanjutnya Mba Rossi berdiri menunggu laporan para jablay lanang yang masih kedebukan.

“Yok apalagi nih yang belum gua check. Bantuin gw.“ Bisik nordin tak kala berpapasan denganku.
“Lah emang apaan yang belum loe data? Gua mana tau kamprett.“ Bisikku sambil sedikit nyengir meledek. Ku lihat di ujung sana di bagian depan, terlihat Wacik dan Rido bersibuk diri mencari barang dataan. Di buka sani di buka sini. Mondar sini mandir sana. Terkadang bertabrakan satu sama lain saking terburunya. Aku hanya berdiri dan sesekali membereskan sabuk pengaman sambil menunggu waktu para penumpang datang.

“Baiklah teman-teman. Penumpang datang. Ready for boarding.“ Ucap Mba Rina melalui Public Announcement.
Akupun bersiap diri siap menyambut para penumpangku. Ku jingkrakkan rambutku, ku usap lembut jas wangiku dan siap bersenyum beratus kali untuk melayani dengan hati.
Dinginnya pagi. Terangnya lampu cabin ini. Membawa terang penuh kesejukan. Tapi tidak hatiku ini. Dia berkabut, bergelisah penuh was-was. Aku harus bersikap tenang. Ku lawan rasa panik ini sampai dia mati. Aku harus bersikap tenang dan menyelesaikan penerbangan ini dengan mendapatkan pengalaman baru. Aku harus menguasai ini semua. Aku harus berhasil menjadi Pramugara. Aku harus lulus flight training ini. Bismillah……





Jawab virna penuh jiwa dan mental yang siap tempur apabila benar terjadi keadaan bahaya. Sangat berjiwa kuat. Wajah tak hanya cantik jelita tapi juga berjiwa ksatria. Mungkin berbeda dengan pria jablay lanang ini. Tubuh sekuat pejantan, tapi hati bernyali waria. Wajah bagai jelangkung tapi nyali ala berondong jagung. Haaaahhh. Dasar.

…Menembus Langit…

BAB 57 : RATU RONGGENG




“Baiklah teman-temanku, inilah konsep yang akan kita buat untuk acara perayaan kelulusan kita dari ground training ini. Pertama, kita akan berbaris memanjang membentuk sebuah formasi dengan membawa lilin menyala. Kita akan memasuki ruangan satu persatu. Lampu ruangan akan di gelapkan, sehingga suasana akan temaram penuh hikmat. Setelah formasi terbentuk, kita akan berpadu suara menyanyikan lagu, “Terima kasihku”. Di tengah lagu, nanti Revi akan membacakan puisi. Setelah lagu ini selesai kita akan bersamaan memadamkan lilin dengan sebuah tiupan penuh semangat pertanda awal karir kita akan di mulai.
Setelah semua lilin terpadam, secara serentak lampu akan di terangkan kembali bersamaan dengan di iringi musik disko yang heboh. Pada session ini, kita akan bergaya ala peragawati dan peragawan.kita akan berjalan berpasangan sampai ujung sudut menghadap ke para undangan dan berpose dengan gaya heboh dan lucu. Sementara berpose, MC akan memperkenalkan data pribadi orang yang berpose tersebut dengan beberapa kelucuannya.
Setelah semua selesai berpose bergiliran, fahmi dan wahyudi akan memimpin kita untuk menari bersama ala group dance. Setelah itu selesai, akan di lanjutkan dengan potong kue dan acara makan-makan sembari menikmati hiburan yang akan di perankan oleh Imam dengan gitar dan lagu rocknya, arif yang bersuara Melo, revi yang akan bersendu mendayu menyanyikan lagu,”I believe I can fly”, wahyudi dengan lagu dangdut yang penu vibra dan saya sendiri akan berperan sebagai putrid malam si ratu ronggeng. Saya akan menari jaipongan ala karawang sembari mengadakan beberapa pertanyaan berkuis untuk hiburan, sebagai contoh,”Apakah perbedaan antara kucing dan kucrit? Kalau kucing kakinya empat, kalau kucrit kakikanya emprat.”
Minta tolong neng Ratih yang mempersiapkan pakaian jaipongku, Wicak,rido dan novan bertugas membuat interior ruangan, Ilma dan para wanita lainnya mempersiapkan Tumpeng, makanan dan minuman. Fahmi dan wahyudi sebagai piñata gerak tari, dan yang lainnya focus dengan persiapan kostum masing-masing.”

Aku berpidato ria memaparkan konsep malam pelepasan sekaligus perpisahan Batch 14, tanda berakhirnya ground training selama 3 bulan ini. Sudah waktunya kami berterima kasih kepada semua instruktur yang telah mendidik kami menjadi pribadi yang berkelas tinggi.
Semua teman-temanku setuju dengan konsep ini dan segera melakukan persiapan sampai akhirnya acaranyapun berjalan dengan meriah dan sukses besar.

“Batch ini benar-benar kompak dan sangat entertaining. Ini adalah acara pelepasan yang paling baik dari yang pernah ada. Kalian benar-benar para entertainer.Hebat.” pendapat salah satu instruktur di iringi tepukan meriah penuh kepuasan.
Pesta perpisahanpun berakhir haru. Kami semua saling berjabat bepeluk erat mendoakan yang terbaik. Tiga bulan kami bersama, sekarang tiba untuk berpisah menunaikan tugas. Kami bagaikan keluarga, suka duka di lewati bersama. Kami bersama berjuang untuk memahami profesi ini. Menjadi Pamugara Pramugari langitan.


Malam terlihat layu, mengikis tenaga kami untuk tak kuat lagi berdiri. Ruangan yang semula penuh genta ramai pesta pora, sekarang berubah seperti kuburan mati. Gegelasan kotor bertengger sedih melihat diri yang tercampakkan. Habis di pakai, sepah di tinggal. Meninggalkan noda hina jejijikan. Lengket berbekas memburukkan wajah. Apalah gunanya aku? Hanya menampung apa yang ingin engkau minum, setelah usai,tak lagi aku terpakai. Hanya jika tangan berkerut pembantu tua yang merengkuhku dengan tulus, dengan ihklas mengangkatku dari nista, menenggelamkan aku ke dalam air bergenang busa. Menyentuhku penuh halus,merabaku dan menghempaskan kenistaan ini. Mengentaskan aku dari kehinaan, sampai akupun kembali bersih berterang diri. Bersih penuh keindahan hati.

Andai saja aku bisa berucap, kan ku paksa lidah ini untuk berucap penuh rasa kasih atas semua kerendahan hati, membersihkanku wahai pembatu tua. Hanya engkau yang mau peduli. Walau engkau ringkih termakan masa, letih renta tak kuat berdaya. Walau hatimu acap kali di tusuk perih oleh kata bermaki, berpuluh perintah menghujam tiada henti, tapi engkau tetap setia melayani. Ajarkan aku melayani dengan hati…





Malam terlihat layu, mengikis tenaga kami untuk tak kuat lagi berdiri. Ruangan yang semula penuh genta ramai pesta pora, sekarang berubah seperti kuburan mati. Gegelasan kotor bertengger sedih melihat diri yang tercampakkan. Habis di pakai, sepah di tinggal. Meninggalkan noda hina jejijikan.

…Menembus Langit…


bab 56 : REFLECTION



Suasana di ruangan ini sangat penuh dengan keceriaaan. Wajah-wajah segar tersirat sesegar sang embun sejuk yang turun dari gunung menyelimuti lembah nan temurun ke kaki bukit menerpa rerumahan melalui jendela bercelah dan terberai hilang menghempas bumi. Pancuran bergemericik jatuh ke kolam di sambut riang riuh para mahluk bersirip bermacam warna saling berlaluan, menciptakan rasa damai di hati jauh dari kegalauan. Sangat hebat alam ini di cipta.

Sudah hampir satu minggu aku di pucuk bukit ini. Menempa ilmu luar biasa di luar kebiasaan orang biasa. Sangat tidak biasa. Sungguh sangat membuatku bangga. Hebat. Semua kelemahanku di obras abis tanpa sisa. Semua kesombonganku telah mempermalukanku.
Malam terakhirku sudah tiba. Di ajaklah kami berkumpul di aula besar untuk saling bertatap diri dan menilai hati. Saling memberi masukan dan saran, bernasehat dan berjujur kata mengenai kekurangan kita. Terkadang kita membelalak mata tak kala kita melihat kekurangan orang lain, tetapi kita memejam mata tak kala kekurangan itu ada di dalam kelopak mata kita sendiri. Dengan mudahnya menilai kesalahan orang tapi tidak sadar dengan kekurangan diri sendiri.

“Baiklah teman-temanku sekalian. Inilah saat yang tepat untuk mengetahui siapa diri kita sebenarnya.” Mas Toni berucap.

“Aturannya adalah satu persatu akan duduk di kursi panas di depan ini dan bagi siapa yang menduduki kursi ini akan mendapatkan saran, pesan dan nasehat mengenai apapun yang ada dalam pribadi kalian. Soal kepribadian, sikap yang tidak menyenangkan dan bagaimana anda harus memperbaiki diri dan berubah ke arah yang lebih baik”. Ucap Mas Toni.

Kami semua saling bertatap. Kursi panas itu bagaikan kursi kutukan. Di situlah akan ada kebebasan untuk berexspresi. Menilai kelakuan orang lain tanpa merasa melukai atau merendahan. Semata-mata hanya untuk mengingatkan untuk bisa menuju kearah yang lebih baik. Satu persatu kami bergiliran menuju kursi panas itu. Satu persatu teman-teman kami mulai berjujur ria. Suasana lucu tegang, sedih sampai nangispun terjadi. Masing –masing saling terbuka memberikan pendapat dan saling tulus menerima masukan. Akhirnya semuapun larut dalam kekurangan diri masing-masing. Semua sangat menyadari bahwa kami semua adalah pribadi yang lemah.
Waktu menunjuk tengah malam. Suara jejangkrikan bagaikan musik sedih menyayat hati. Gelapnya malam tanpa bulan semakin membuat suasana ini tenggelam ke dalam kegelapan. Hanya puluhan lilin yang terkikis leleh panas memancarkan obor api kecil meliuk-liuk menerangi gelap. Semua pikiran kami terbawa dalam larut kegelapan. Larut dalam kekurangan.

“Teman–temanku yang saya banggakan. Menjadi seorang Pramugari/Pramugara adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kita tidak hanya sekedar melayani. Kita tidak hanya sekedar memberi minum dan makan, melempar senyum, menyapa dengan suara ramah tapi kita juga akan mempertaruhkan nyawa kita demi keselamatan dan nyawa penumpang kita dan juga nyawa kita sendiri.” Mas Toni berjalan mengelilingi kami sambil terus bernasehat. Mengeluarkan kata berpetuah yang sejuk di dengar hati.

“Pernahkan kalian terpikirkan di saat kita pergi untuk bekerja. Memakai seragam, memakai wing terbang, berdandan wangi berelegan, menarik koper berjalan anggun di sepanjang bandara di tatapi puluhan mata yang mengagumi, tetapi….tetapi itu hanyalah untuk yang terakhir kali kalian menginjakkan kaki di bumi. Kalian tidak berpulang lagi ke daratan. Pesawat kalian hancur meledak di langit dan terbakar berkeping terhempas ke bumi. Kalian mati tanpa jasad. Kalian mati hangus terbakar. Kalian mati dengan tubuk tercabik cabik tak utuh lagi daging di rangka ini. Kalian pikir ini pekerjaan main-main? Hahh? kalian pikir ini pekerjaan Cuma batu loncatan? Ayooo jawabb?” Mas Toni membentak kami dengan terus menguraikan kata perih menyayat hati. Suara paraunya bernadakan takut penuh kekhawatiran. Menampar kesadaran kami bahwa ini adalah pekerjaan yang dekat dengan resiko MATI.
Suara sesenggukan ratih mulai terdengar. Di susul ilma dan hampir semua sahabat wanitaku sesenggukan meneteskan benih kerlingan airmata. Semakin dan semakin larut dalam sedih.

“Sadarkah kalian bahwa kalian bisa seperti ini karena orang tua kalian. Kalian bisa tumbuh besar dan serba kecukupan karena orang tua kalian. Tahukah kalian bagaimana bapak ibu kalian bekerja mati-matian banting tulang demi kesuksesan kalian. Bertahun tahun peras keringat dan darah hanya untuk menafkahi kalian. Dari bayi kalian di timang, di sayang, di beri makan, di belikan apapun yang kalian minta. Tapi apa balasannya? Sekarang kalian sudah besar bisanya Cuma melawan. Membantah. Merasa sudah pintar. Merasa sudah dewasa. Apa yang kalian bisa hah? kalian Cuma bisanya mengemis minta uang. Kalian selalu mengerogoti orang tua. Sedikitpun apa pernah kalian memberikan secuil kebahagiaan? pernah kalian berbalas budi walau hanya sekedar membelikan peci dan sarung untuk bersholat diri? Pernah? Ayo jawab? Pernah kalian memberikan ibu kalian sepasang sandal dan pakaian sederhana? Pernah tidak? Ayo jawab? “ Suara Mas Toni makin menggelagar dan beremosi tinggi. Semakin lantang dan semakin menghancur leburkan hati kami. Suara isak tangispun semakin keras.

“Belum bisa membalas budi saja kalian sudah berani melawan orang tua. Sudah berani membantah. Bayangkan kalau sekarang kalian di sini dan besok pulang ke rumah tiba-tiba saja bendera kuning berkibar di depan teras kalian. Bayangkan kalian pulang di sambut dengan keranda mayat. Bapak kalian meninggal dunia. Mati tak bernyawa. Bayangkan kalau ibu kalian meninggal dengan sakit hati yang melekat karena luka yang kalian beri.
” Belum juga Mas Toni selesai bicara, suara tangis sudah sangat memecah telinga. Ini benar-benar suara tangisan yang penuh kedukaan sangat dalam. Begitu pula aku. Akupun mulai sesenggukan. Airmataku mulai jatuh. Kembali aku teringat kesusahan orang tuaku dalam membesarkanku. Bagaimana mereka bekerja mati-matian untuk bisa menyekolahkanku. Aku semakin tak tahan. Hatiku sesak dan semakin sesak. Sampai bapakku meninggal, aku tidak sempat membalas budi. Membelikan sarung peci saja tak sempat. Semakin merenungi semakin deras airmata ini tercurah. Semakin ku ingat bapakku, semakin tangis ini bertambah menderu. Sampai akhirnya aku tak tahan lagi menahan sesak ini.

“Bapaaaakkkkkk. Bapaakkkkkkkk. Maafin anakmu Pak. Maafin aku. Bapaaakkkkk.” Terus ku berteriak sekencang kencangnya. Ku panggil bapakku. Ku keraskan suara tangisku. Ku menangis separah parahnya. Menggeru penuh duka. Sudah lama aku jauh dari airmata. Inilah puncak kesedihanku. Semua penderitaan hidupku, pengorbanan bapakku dan segala kebodohanku bagaikan pemicu airmata ini untuk semakin menambah kecepatan derunya semakin menggeru. Deras tertumpah. Basah penuh gundah bercampur amarah.

Aku sudah lupa diri. Aku tidak terkontrol lagi. Aku berdiri dan mengamuk mencoba memukuli wajahku sendiri dan sesekali memukul kuat tembok keras. Segera aku di serang Mas Toni. Di tabrak dan di peluk aku erat. Beberapa sahabatku membantu Mas Toni agar bisa menenangkanku. Aku terus berontak. Beberapa kali akau menjatuhkan sahabatku sendiri. Terus berontak dan membabi buta. Terdengar teriakan ratih untuk memintaku tenang dan berhenti beremosi.

“Stop bang. Stoooopp. Istigfar bang. Istigfar.“ Teriak Ratih sambil terus menangis menggeru-geru.

“Yok stop! Sadar. Heh sadar. Ini gua Arif. Sadar! sadar yok!“ Arif mencoba menenangkanku dari depan. Bukannya semakin tenang, aku malah semakin kesurupan. Aku semakin brutal. Terus meronta dan berteriak memanggil bapakku sambil menangis sekencang kencangnya.

“Plaakkkk…Ploookkkkkk…Plaaakkkkkk.” Anjingg loe yah. Stoopppp. Stoopppp Priyooooo.“ Arif menamparku berkali-kali sangat keras. Dia berteriak sangat kencang dan penuh amarah.

Aku sungguh sakit merasakan sakit yang teramat. Sejak tamparan itu aku mulai sedikit tenang. Rasa sakit di pipiku membuat aku meringis kesakitan. Arif memelukku sambil menangis terisak juga.

“Yok! Gua tau luh. Gua ngerti kalau lo lagi sedih sekarang. Tapi control Yok. Ayo kita nangis bareng. Lo lihat gua sekarang. GuA juga nangis. gua juga sedih. Kenapa sampai segede ini gua masih minta makan sama orang tua gua?“ Di pegangnya kepalaku dan di tatapkan ke wajahnya.

“Ayo kita jadikan pelajaran ini semua agar kita bisa cepat-cepat bahagiain orang tua kita. Ayo kita sama-sama berjuang.
Malam semakin dingin. Suara jejangkrikkan berubah hilang berganti sesenggukan tangis. Kami semua terlarut dalam sedih. Mengingat orang tua kami masing-masing. Sudah sebesar ini kami belum bisa balas budi. Dari kecil di besarkan menjadi besar tapi belum bisa membahagiakan.


Angin malam berubah menjadi udara pagi bercampur kabut embun. Malam terakhir ini sangat menjadi pelajaran berkelas tinggi buat kami. Setelah menutup dengan kata petuah bermutiara, Mas Toni pun mengucapkan kata pisah dan meminta maaf atas segala hal yang apabila melukai hati. Kami semua saling berjabatan bergantian. Mas Toni dan teamnya sangat menyadarkan kami.
Yaaahhh inilah fungsi CRM
Crew resource Management….
Reflection…..





Inilah puncak kesedihanku. Semua penderitaan hidupku, pengorbanan bapakku dan segala kebodohanku bagaikan pemicu airmata ini untuk semakin menambah kecepatan derunya semakin menggeru. Deras tertumpah. Basah penuh gundah bercampur amarah.

…Menembus Langit…



BAB 55 : RIKA..



# #deras hujan yang turun. Mengingatkanku pada dirimu.
Aku masih disini untuk setia…
Di saat malam datang. Menjemput. Kesendirianku.
Dan bila pagi datang ku tahu. Kau tak di sampingku.
Aku masih di sini untuk setia ##

Ku duduki motorku ini penuh resah. Lagu sendu nan menusuk hati menemani sendiriku. Aku masih menunggu penuh harap di depan sebuah emperan toko berkaca besar bertuliskan Maju Jaya Makmur yang berada tepat di belakang Sarinah Thamrin Jakarta. Penuh resah bergelisah menunggu kekasih hati keluar dari sebuah toko besar bertuliskan Ramayana. Perusahann besar yang menjual beragam pakaian. Rika. Wanita tinggi langsing berambut panjang keturunan bangsawan Makasar. Tinggginya hampir menyentuh pundakku. Apabila kami berjalan bagai angka 11. Derasnya hujan masih menjatuhi bumi. Gelapnya malam semakin memberi kesan mencekam. Mataku terus menatap toko besar itu. Satu persatu wanita penjaja pakaian keluar berhamburan kehujanan. Yahh itu dia. Semampai tubuh berambut panjang bercelingak-celinguk menatap ke arahku. Akupun berlari menghampirinya. Beratapkan jas hujan yang compang-camping sudah termakan usia. Berdua kami saling berpeluk erat. Menatap jalan beriak. Terciprat kaki menghempas genangan. Tetesan air jatuh di kepala membasahi rambutnya nan hitam tergerai panjang.Ku usap rambutnya. Membelainya. Ku raba mesra penuh rasa. Ku usir paksa sisa air membasah kuhempas ke bumi. Senyum menggoda dan cubitan mesra ku dapati sebagai bentuk terima kasih karena aku begitu peduli.

“Iihhh ayank romantis banget sih.“ Ucapnya mesra menggoda sambil berkalinya aku di cubiti.

Melihat hujan tak Nampak berhenti. Melihat larutnya malam terus menjadi. Kamipun memutuskan untuk berkendara di bawah hujan. Ku pacu motorku sangat pelan dan hati-hati. Kucuran sang hujan terus terusan membasah. Kurasakan dingin semakin menggigil membasahi tubuh kami. Pelukannya semakin erat bagai tali layangan tak ingin terputus. Terus aku di rengkuhnya. Hembusan nafasnya terasa hangat. Mendesah di leherku. Sesekali bibir itu menyentuh lembut. Menempel hangat sungguh geli bercampur nikmat. Melihat tubuhku menggelinjang keenakan. Bagai merasa di beri umpan, aku malah di serang habis habisan. Kail di makan nyangkut terus-terusan. Di lumatnya leherku penuh gairah. Terus menjalar si bibir sampai ke pipi. Semakin jauh sampai menyentuh ujung bibirku. Di kecupnya penuh lembut. Tubuhku bagai di sengat petir walau hujan ini tak berpetir. Badanku kejang teraliri setruman tiang litrik tumbang menghalang bangkai di pinggir jalan. Berkilat kilat mengeluarkan sengat di sekitaran.

“Yank. Udah dong ahh. Lagi nyetir nih. Bahaya nanti jatuh.” Pintaku Mengemis untuk menyudahi tapi bibirku terus-terusan dikecup erat tak mau di lepas. Pintaku sedikit manja melebihi manjanya para waria kala tak laku ketika pagi menjelma. Jual diri murah daripada tak ada bahkan jual servis gratis tak kala pelanggannya ganteng berbadan modis. Bukannya berhenti malah semakin menjadi. Kali kepalang tanggung, terus di kulumnya bibirku dari samping. Aku menyetir sambil memiringkan kepala. Semakin lama kok semakin nikmat. Mataku melotot ke depan tapi bibirku di sedot ke belakang. Terus kami dipacu birahi. Melumat-lumat saling menyantap. Basahnya air hujan semakin membasahi bibir kami.

Ingin sekali ku satukan basah tubuh kami ini agar berasa hangat.Bertelanjang ria mengikat diri memeluk diri. Dua tubuh menjadi satu. Bertelanjang diri di malam hari, di hujani deras membasah diri. Saling berdiri tegak memeluk erat. Bibir atas menjilat, bibir bawah tertusuk tonggak. Lamunanku terus mengembara menuju sesuatu yang indah tiada tara. Karena enak dengan situasi nikmat tapi takut tak selamat, akupun memutuskan untuk berhenti berteduh diri. Akupun menepi di sebuah emperan warung gubuk kaki lima tak bertuan. Suasana sepi gelap berkabut gelap. Menengok kanan kiri tiada Nampak orang berwujud, diapun segera ku serang dengan jurus kekuatan bulan. Langsung ku caplok bibir sensunya penuh gairah tinggi. Nafas terengah, serangan bertubi tak terhenti. Melumat kiri, di lumat ke kanan. Berperang lidah, terus tersedot penuh pasrah. Aku terkaget dan membelalak mata ketika di cengkeramnya tonggakku yang terbungkus kain segituga biru. Mengeras dia semakin terperanjat. Di elus-elus sampai manggut manggut. Cengkeraman itu membuatku semakin berang. Segera ku balik menyerang. Setelah letih bibir atas ku lumat, ku sibakkan kaos merahnya ke atas. Ku singkap pula kain kaca mata berwarna ungu berenda merah bermotif hati.

Terkuaklah dua gundukan halus putih mulus berpucuk merah. Sungguh luar biasa indah Pemandangan dua bukit ini. Uuuhhh. Aku menelan ludah. Mengecap lidah. Memonyongkan mulut dan segera jurus ayam mematok cacing siap menyerang.
Ku jilati dua pucuk merah penuh rasa. Terkadang ku sisir, terkadang berkeliling, terkadang ku hisap bahkan sampai ku telan habis-habisan. Tak cukup sampai di sini, jemari tangan mengerayang memelintir di pucuk bukit kiri. Mulut bibir menenggelamkan diri di pucuk bukit kanan, tangan kanan mengembara ke hutan kelam mencari goa kegelapan. Aaahhhh. Semak belukar sudah terasa, mulut goa makin kentara ku rasa. Ku coba menusuk masuk ke mulut goa tapi banjir lumpur sudah melanda. Basah bercampur hangat. Jurus jari tengah saktipun siap beraksi menambah banjir ini semakin besar. Ku usap-usap naik turun. Lengket semakin mengundang nikmat. Desah menderu semakin seru. Tangan kiriku, mulutku dan tangan kananku terus bekerja bersamaan tiada lelah. Aku memacu diapun terpacu. Tangan kanannya tiada henti mengelus merajang si tonggak batu. Sungguh situasi berkelas dan berseni tinggi. Di ruang terbuka, di bawah gubuk usang tak bertuan, di temani deras hujan bergemiricikan bagai musik yang di mainkan romantis oleh sang alam. Aaahhhh sungguh seni tingkat tinggi.

Rika..Rika….Rikaaaaaaaa oohhhh yeessss…

Setelah usai melaksanakan hajat, kamipun kembali menerabas derasnya hujan menuju pulang. Kami tertawa puas dan sangat lega. Tibalah kami di depan rumah sederhana. Sesosok badan tinggi berpeci hitam, berwajah paruh baya, bersarung merah berdiri tegak mendekap tangan penuh kerisauan. Ku turunkan Alma tepat di depan terasnya. Akupun ikut turun ingin berniat mengantarnya.

‘’Rika masuk kamar langsung. Dan kamu..” Suara bernada tinggi, seperti marah. Berucap serasa tak senang. Di tunjuk-tunjuknya aku dan di panggil dengan nada kasar.

“Kamu tahu keluarga kami ini siapa ? Kami ini adalah keturunan berdarah biru dari bangsawan Makasar. Sudah pasti anakku ini akan kami jodohkan dengan lelaki keturunan derajat dan kasta yang sama. Itu tradisi kami. Saya berharap kamu menjauhi anak saya sekarang.” Astaga. Orang tua Rika ternyata sangat marah tidak senang dengan hubungan kami. Dia akan menjodohkannya secara adat. Inilah alasan mengapa rika tidak pernah mengizinkan aku untuk bersinggah ke rumahnya.
Akupun berlalu pergi di iringi sedih. Ku pacu motorku penuh layu. Malas berjalan, lunglai di jalan. Berjalan tertatih tak ingin berlari….

“Rikaaa….Rikaaaa…” Terperanjat aku penuh kekagetan. Tiba-tiba saja aku berada di atas kasur empuk di kamar bagus. Yaaaahh. Aku bermimpi. Rika telah menjadi bunga tidurku yang membawaku ke masa lalu. Rika berlalu menjauhiku. Bersama adat di mengabdi. Menjadi ratu untuk pangeran suku. Selamat jalan Rika….


Ku jilati dua pucuk merah penuh rasa. Terkadang ku sisir, terkadang berkeliling, terkadang ku hisap bahkan sampai ku telan habis-habisan. Tak cukup sampai di sini, jemari tangan mengerayang memelintir di pucuk bukit kiri. Mulut bibir menenggelamkan diri di pucuk bukit kanan, tangan kanan mengembara ke hutan kelam mencari goa kegelapan.

...Menembus Langit…
..

BAB 54 : PERSONALITY TRAINING



Celana hitam panjang, baju putih fit body, berdasi kuning bermotif bundaran kecil. Sepatu hitam mengkilat terang. Cecuitan binatang bersayap beterbangan berkejaran saling matuk-mematuk menjalin asmara memadu cinta. Bahagianya mereka menambah indah pagiku ini semakin berseri.

Aku tegap melangkahkan kaki penuh wibawa. Berjalan ala pangeran kerajaan melalui karpet merah bersanding para dayang. Langkahku sudah berubah. Aku yang dulu melangkah menyeret kaki, punggung membongkok, tangan melenggang berayun, Kaki mengegang terbuka lebar membuka selangkangan, klelas-klepus rokok di tangan, Sekarang sudah jauh berbeda. Punggung kepala tegak, berjalan penuh wibawa, rambut ku jingrak tipis rapih, senyum sumringah selalu tersirat, perilakuku sudah bergaya bak Executife Muda. Aku sudah sedikit berkelas. Dari yang dulunya cungkring sekarang menjadi maskulin.

Ratih dan Arif melambaikan tangan memanggilku untuk duduk di kelas berdampngan. Suasana kelas ini bagaikan sebuah ruangan seminar para pejabat negara di sebuah hotel mewah. Segelas bulat bergagang kecil berisikan jernih air tak berwarna. Sungguh tersaji elegan. Tata ruang meja panjang berbentuk U menghadap sebuah papan tembok yang tersinari terang. Menimbulkan tulisan berjudul CRM Crew Resource Management.

Yahhh. Inilah hari pertamaku di puncak ini untuk mempelajari sebuah materi baru yang konon bisa membuka wawasan kita untuk lebih menjadi pribadi yang unggul. Entah materi berjenis apa, aku masih meraba.

“Bang semalam gimana tidurnya, asyik ga?” Tanya Ratih dengan senyumannya yang lucu.

“Ga usah loe Tanya neng. pasti tidurnya sampai mimpi basah deh. Keenakan ngerasaain kasur empuk.” Ledek Arif sambil cekikikan.

“Iya neng sumpah. Semalem adalah kasur terempuk selama aku hidup. Bantal dan guling terlembut selama aku tidur dan kamar yang sangat nyaman. Aku berasa jadi orang kaya sekarang ini. Gak Cuma mimpi basah Rif tapi sampai mimpi kebanjiran.“ Ucapku penuh gelak tawa. Suasana kami bertiga penuh tawa dan ceria. Mereka berdua adalah dua sahabat terbaik yang aku punya. “Terima kasih Arif. Terima kasih ratih. Aku ada di titik ini berkat dukungan kalian.” dalam hati berucap.

“Hallo selamat pagi semuanya. Apa kabar?” Datanglah tiga orang memasuki ruangan derngan penuh nada semangat dan wajah nan ceria.
“Baiklah perkenalkan nama saya Toni, sebelah kiri saya ini Mba Dewi dan sebelah kanan adalah Mas Hendra. Kami bertiga siap memberikan materi pagi ini dengan penuh semangat tinggi.” Sapa Mas Toni dengan sangat bersemangat.

Baiklah teman-temanku, mulai hari ini, di tempat ini kalian akan belajar dan mempelajari materi yang tidak akan pernah kalian dapatkan di sekolah. Ini adalah materi mahal dan sangat berkelas. Hanya orang-orang yang berprofesi khusus saja yang akan mendapatkan materi ini. Kalian akan mempelajari apa yang dinamakan perception, self awarnes, situational awareness, communication, solve problem management, mental and character building, reflection, leadership, team work dan yang lainnya.
Kali ini kembali aku termangu. Mendengar Judul materi saja sudah terdengar berkelas dan bertingkat tinggi. Aku sangat tidak sabar ingin belajar mengenai materi-materi itu.

Setelah berpanjang lebar memberi penjelasan mengenai training concept, waktu untuk berehatpun segera tiba. Di arahkan kami menuju sebuah ruangan. Aroma makanan tercium semerbak menyengat.
Terpajang panjang sebuah meja memanjang dengan hiasan berupa hidangan makanan. Bermacam kue tersaji indah berbaris rapih. Dari kue tradisional sampai kue bolu berlubang tengah bertaburkan butiran kecil beraneka warna dan rasa. Empat buah tabung besar berjejer lencang kanan. Bertuliskan susu, teh, kopi dan air mineral. Di sampingnya terletak sebuah mangkok berkotak berisikan puluhan sachet bertuliskan “sugar”.

Gelas cangkir dan piring kecil di tata bertingkat-tingkat membentuk undak-undakan bagai cecandian Prambanan berseni tinggi. Kursi meja terletak rapih tertata apik di balut kain putih bersih, menyejukkan mata untuk teduh tak kala menatapnya.
Udara pagi menghembus sepoi memasuki ruangan melalu jendela nan terbuka lebar. Perutku yang sedari tadi berkelutak kelutuk, sekarang bernyanyi ceria melihat santapan ada di depan mata. Siap di suapi, lapar akan segera terobati. Sarapan sepotong kue mahal berminumkan susu segar di tempat elegan berisikan para pemuda tampan dan wanita yang menawan. Sungguh sangat menyentuh hati. Tak di sangka aku berada di situasi ini. Sangat berkelas.

Teringat dulu bagaimana masa laluku. Sarapan pagi sebungkus nasi uduk berminumkan teh tawar hangat di pingir jalan. Duduk di kursi kayu papan panjang dengan sebelah kaki nangkring di atas kursi dan tiba-tiba jomplang karena berdirinya orang yang duduk di ujung papan. Seketika nasi uduk tertumpah berarakan menghiasi wajah dan pakaian. Tersungkur aku di timpa kursi papan. Bukan bantuan yang ku dapatkan malah tertawaan dari para wanita pekerja yang kebetulan melintasi jalan. Tertawa karena gulungan mie yang melingkar menghiasi kumis ini. Belahan setengah telor menempel tepat di jidat. Segumpal sambal merah nemplok dipipi. Sudah jatuh tertimpa papan, berparas badut jadi tertawaan.

“Hai bang. Belum juga melayani penumpang tapi udah senyam-senyum sendiri aja. Menghayal apa bang.“ Ucapan Ratih menyadarkan lamunanku. Ternyata aku senyam-senyum sendiri tanpa ku sadari.

“Tenang yok. Simpan senyummu. Siap-siap nanti senyumin 180 penumpang per sector. Kalau terbang 4 sektor, dower-dower dah tuh bibir luh…hahahahah.” Ledek arif penuh canda. Kamipun tertawa bersama sambil menikmati coffe break ini. Sungguh coffe break yang mewah….




Gelas cangkir dan piring kecil di tata bertingkat-tingkat membentuk undak-undakan bagai cecandian Prambanan berseni tinggi. Kursi meja terletak rapih tertata apik di balut kain putih bersih, menyejukkan mata untuk teduh tak kala menatapnya.

…Menembus Langit…

BAB 53 : WANITA BERKUDA



Jam 7 tepat aku terbangun. Sungguh ini tidur terindah yang pernah aku tiduri. Kalau saja alarm ini tak mengumandangkan perang di telingaku, aku akan terus menikamati tidurku ini sampai matahari menyengat diri. Bayangkan saja, tidur di atas empuk berguling lembut berbantal halus, dinginnya kabut masuk leluasa menyelimuti tebalnya selimut. Merayap mengendap perlahan menusuk si kulit ari. Menggodaku untuk terus meringkuk berselimut diri. Aahhhh. Tidur yang istimewa.

Akupun ke kamar mandi untuk membasuh diri. Dinginnya tempat ini benar sangat memalaskan aku untuk mengizinkan si air dingin menyiramiku. Kuputar putar si kran bundar. Mencari saluran air yang katanya bisa mengalirkan hangat bahkan panas. Kumpalan asappun meluap dari uap air hangat, mengepul bebas memberi hawa hangat. Akupun menenggelamkan tubuh telanjangku ke dalam bak mandi putih mencoba memanja diri. Merasakan bagaimana cara bergaya ala orang kaya. Mandi busa bertaburkan aroma wangi. Berselonjor kaki memejamkan mata. Mengandai ada wanita sexi bertelanjang diri. Memijat kakiku dengan lentik jemari nan lincah menari. Telapak halus merabaku penuh rasa. Membangkit gairah ingin bersenggama bersama dia yang liar menggoda. Oohhhhhh aaahhhhh. Wanita nakal itu mendudukiku penuh nafsu. Menancap di tonggakku dan terus di goyangnya aku. Bergaya menggaruk bak kapal keruk, memutar-mutar bagai gangsingan sampai naik turun bercelap-celup.

Aku benar sungguh di siksanya. Rambut panjangnya basah terurai berarakan. Disibakkan ke kanan, di lempar pula ke kiri. Giginya beradu kuat menahan jerit. Sesekali mendesah, berkali kali menggeram. Dua bulat putih di dada bagai papaya berkuncup merah melonjak lonjak liar naik turun menghasut mataku untuk mendaratkan dua telapak tangan mencengkeram si dua gundukan.
Si tonggak kayu yang sudah tercebur ke dalam lubang hangat berbulu lebat semakin menjadi batu. Ototnya semakin bermunculan bagai akar liar sebuah pohon rindang. Menjalar serasa ingin terpecah. Makin lama makin mengalir suatu aliran menuju ujung langit. Terus mengalir aliran itu semakin ke atas dan tak terbendung dan akhirnya, ”Duuuaaarrrrrrr.” Meletuslah cairan lahar putih mengalir hangat tertumpah ruah di danau berbukit hitam berbibir lembut. Membasah ke permukaan. Meregangkan otot yang tegang menjadi gemetaran. Ahhhhh lega. Enaknya jadi orang kaya. Puas mempunyai wanita berkuda…
Ciat ciat ciatttt…haiyaaaa


Wanita nakal itu mendudukiku penuh nafsu. Menancap di tonggakku dan terus di goyangnya aku. Bergaya menggaruk bak kapal keruk, memutar-mutar bagai gangsingan sampai naik turun bercelap-celup.

…Menembus Langit…

BAB 52: MENUJU PUNCAK



Rasa kantuk ini sungguh tak tertahan. Sudah berhari aku tak enak makan tak nyenyak tidur. Makan bersayur serasa tak bergaram, tidur terpejam pikiran menerawang. Berhari sudah aku tersiksa. Bagai menuruni gunung menggendong karung berisi kayu tonggak untuk di bakar menjadi arang. Di jual ke kota berkeliling pasar mengharap pembeli dengan harga tinggi. Sungguh sangat mengiba mengelus dada.
Sepertinya malam inilah pembalasan dendamku. Berharap tidur terlelap puas. Tiada pengganggu mengusik mimpiku. Mimipi memakai seragam berdasi, terbungkus setelan jass bersenyum lebar beraroma wangi mengucap salam “Welcome aboard. ABC sebelah kiri dan DEF sebelah kanan.” Sangat membanggakan. Aku sudah tak sabar menuju kesana.

Keesokan harinya aku sudah tiba di kantorku. Tidur semalam sangatlah puas tak terkira. Aku sungguh segar dan penuh ceria pagi ini. Menatap langit begitu cerah, burung berkicau bernyanyi indah. Alunan musik lagu kenangan koes plus bersaudara mendayu di pos jaga security kantorku ini, semakin memantabkan hati untuk jangan bersedih hati.

Reff : “Buat apa susah buat apa susah, lebih baik kita bergembira.Kekasihku apa yang kau pikirkan. Hidup ini hanya sementara. Tak usahlah kau bersedih hati. Percayalah …..sayang.“

Sepuntung rokok di apit bibir hitam tebal beratapkan si kumis lebat. Sang Satpam memejam mata menghirup segelas kopi hangat mengepul asap terbawa angin yang sekilas menampar hidungku untuk mengendus aroma. Yahhh. Aroma kopi yang sangat khas. Di bawa oleh sebuah kapal yang berapi-api.

Setelah sedikit berdandan diri, segera ku menuju sebuah ujung sudut. Menunggu para sahabatku. Hari ini adalah hari keberangkatanku menuju puncak untuk mendapatkan materi membangun kepribadian. Sebuah bis besar sudah menunggu di ujung parkiran. Bis biru berlogo burung berwarna biru. Yahh si burung biru. Terlihat seperti bis yang terawat bermotto 4M. Mengkilat, megah, mewah dan pastinya Mahal. BerAc dengan layar TV besarmenggantung di bagian depan. Kursi empuk melebihi empuk bantalku. Jauh sekali dengan bis Patas 22 yang setia menemani perjalananku. Ruangan berAS yaitu Angin Saja yang berhembus langsung dari sisi jendela tanpa kaca yang habis terpecah belah karena tawuranku. Kursi plastik keras seperti batu. Tak ada TV yang tergantung. Hanya puluhan stiker menempel acak mengacak di setiap sudut atas, “Ku tunggu jandamulah, awas copetlah, maju kena mundur kenalah dan lain sebagainya.”

Setelah menunggu, akhirnya satu persatu sahabatku tiba. Ratih berlari kecil ke arahku setelah melihat sosokku. Begitu juga Arif, Imam, Rendra, bagus ,djarot, wacik,ridho dan nordin. Mereka semua menghampiriku. Terbentuklah sebuah diskusi yang menarik dan penuh canda tawa. Setelah semua terkumpul, kamipun segera menaiki Bus dan bergerak menuju puncak. Bus gagah ini terus melaju di atas jalan tak berhambat dengan cepat. Di sepanjang perjalanan kami berpanjang cerita. Ada yang membaca, tertidur, main catur sampai autis mendengarkan musik sendiri. Telinga tertutup bulatan besar. Bergeleng-geleng kepala menikmati musik kesukaannya.

“Yok kalau ga keberatan, coba dong nyanyi sambil main gitar. Aku mau tahu gaya nyanyimu dulu pada saat ngamen.Please yaaa hibur kita.” Entah ada angin apa. Ilma memintaku untuk menyanyi layaknya aku menjadi pengamen dulu.

“Perhatian-perhatian. Sesaat lagi kita semua akan di hibur oleh salah satu sahabat kita yang hampir hilang. Setelah berhari kita di buatnya bersedih kehilangan, kini dia kembali lagi di tengah kita. Beri tepuk tangan yang meriah buat Priyooooo.” Kampret si Imam. Di undangnya aku ke depan seperti sebuah artis terkenal. Suara tepukan teriakan dan suit-suitan membahana di dalam bis ini setelah sebelumnya semua sibuk dengan obrolannya masing masing. Kini semua mata terjuju padaku. Ku kalungkan strap gitar ini. Memetik beberapa senar untuk menselaraskan nada.

“Selamat pagi para penumpang sekalian. Maaf mengganggu perjalanan anda semua. Izinkan saya yang hina ini untuk menyanyikan sebuah lagu karya saya sendiri. Lagu tentang seorang pria yang menyadari kekasihnya perlahan menjaga jarak dan berniat pergi untuk ke lain hati. Jangan biarkan aku begini.”

“Lagi-lagi…’’ Suara teriakan yang kompak dan tepukan meriah menghiasi akhir laguku sekaligus di mintanya aku bernyanyi lagi.

“Nyai nyai nyai….” Teriakan Ilma sangat histeris. Antusias sekali dia ingin aku menyanyikan lagu nyai. Cinta sabun mandi. Tak menunggu lama akupun mendendangkan lagu Jaja miharja ini. Semua bernyanyi bersama, berjoget, memukul gallon sebagai gendang pengiring. Sungguh suasana yang meriah dan sangat penuh ceria. Apalagi si wicak juga ikut menyumbang lagu cut- cutannya.
Udara dingin bercampur kabut. Bis ini berkelok menaiki bebukitan. Hamparan kebun teh nan hijau terbentang tiada ujung. Berpuluh orang membawa keranjang bercaping besar memetik daun hijau cikal bakal para minuman cangkir yang tersaji hangat ketika pagi menjelang. Beragam jajanan terpajang bergelantungan di sisi jalan. Membuat lidah berkecap ingin merasai nikmatnya sebuah singkong nan terpendam berhari bercampur ragi menjadi lunak siap di saji.

Kamipun sampai di ketibaan. Memasuki sebuah area luas. Berjejer bangunan teduh mengisyaratkan ketenangan dalam berhuni. Tiada polusi, tak ada bising jalan,hanya cecuitan burung kecil beterbangan bebas tanpa tembakan menghantui. Damai tenang dan nyaman sekali tempat ini. Di tuntunlah kami menuju jejeran kamar berbaris rapih tertata apik. Akupun memasuki sebuah kamar yang di peruntukkan untukku. Pintu ku buka, aku terpana. Seisi kamar ini sungguh tak terkira ku bayang. Sebuah ranjang besar terselimuti kain putih, berbantal putih berguling putih. Di sebelah kiri meja rias terpampang kaca besar. Sebelah kanan dua sofa unik bermeja bulat berwarna coklat. Kamar mandi berkeramik putih berkaca besar bercloset duduk berwarna putih. Berbak air lebar dengan tirai transparan. Ini sebuah kolam bak mandi mini. Berendam berbungkus busa, memejam mata memanja diri. Segera ku hempaskan tubuh ini di atas ranjang indah. Terbaring lega penuh tenang. Kutatap langit kamar tiada sarang lelaba bergelayutan. Tak ada cecak berlarian berkejaran. Mereka takut mengotorinya dengan telapak berdebu berbekas tanah liat. Semua terlihat terawat rapih dan bersih.Akupun memejamkan mata. Menjiwai suasana yang mewah ini untuk merasakan nikmatnya hidup di tempat nan nyaman. Baru saja aku ingin terlelap ke alam mimpi, tiba-tiba saja tiga jablay lanang wicak, novan dan ridho memasuki kamarku mengagetkanku.

“Wueeehhhhh..tidur aja kerjaan loe. Laki laki tuh pamali kalau tidur ga ada cewe telanjang di sampingnya. Ga sopan tau.“ Teriak nordin memecahkan telingaku. Membuatku tersentak dan beranjak dari ranjang.

“kampret kalian yeee.” Gumanku penuh gerundel.
“Ayo berenang yok. Kolamnya gede dan airnya dingin. Kali aja tar pesawat loe jatuh di laut. Makanya loe harus belajar berenang.” Ridho meledekku penuh mistis. Mengandai kalau pesawatku jatuh.

“Taiiiiiiii loe. Amit-amit jabang bayi. Gua belum terbang lo dah doain yang jelek jelek.” Ucapku penuh jengkel sambil mengetok-ngetok kayu tiga kali tradisi jawa supaya apa yang di ucap tidak terjadi.

“Wis ayo berenang bareng. Kita senang-senang aja. Pusing aku 2 bulan training terus.” Wacik mengeluh penuh sesal.
Akhirnya kami bertigapun menuju kolam renang. Di sana ternyata sudah ramai para sahabatku bermain dengan air. Ratih terlihat melambai. Arif klepas-klepus dengan rokokknya di bawah payung besar. Ku hampiri dia dan langsung ku ambil sebatang rokok darinya. Maklum rojali. Rokok jarang beli. Bisanya minta terus. Aku dan Arif terus berbincang mengenai banyak hal. Mulai dari kelakuan anak-anak di kolam renang sampai mengenai training apa yang akan kita terima di tempat ini.
Obrolan kami terhenti tak kala kami mendengar teriakan keras dari kolam renang. Adalah wahyudi. Pria lembut sedikit kemayu ini tampak di gotong oleh nordin dan wacik dan akan di ceburkan ke kolam.

“Byuurrrrrrr…” Wahyudipun tercebur ke dalam kolam. Dan dia berteriak minta tolong.

“Tolong-tolong. Gua ga bisa berenang. Tolongin gua.“ Wahyudi terus meronta. Tangannya kecipak-kecipuk di kolam renang tanda tak bisa berenang. Semula beberapa teman mengira ini hanya akting belaka saja karena kesehariannya memang wahyudi ini jago berakting. Makin lama makin di cermati , sepertinya ini benar adanya tidak di buat-buat. Aku dan Arif saling bertatapan mata tanpa kata. Sepertinya kami sudah mempunyai ikatan bathin. Dalam hitugan detik. Aku dan Arif sama-sama membuka kaos, berlari dan melompat menukik ke kolam renang menyelamatkan wahyudi.

Ku tarik wahyudi ke pinggiran kolam. Ku angkat dan ku tidurkan telentang. Tersenggal-senggal nafasnya dan menangis-nangis sejadinya dia. Diapun segera bangun dan segera mengejar 3 jablai lanang yang menceburkannya. Alhasil terjadilah kejar-kejaran. Semua sahabatku tertawa ngakak melihat kejadian ini. Lucu melihat wahyudi tak bisa berenang. Lucu melihat wahyudi nangis termehek mehek. Lucu melihat kejar-kejaran antara 3 jablai lanang yang di kejar jablai jadi jadian……ihhh cap cus deh. Tintaaaa adinda.




Udara dingin bercampur kabut. Bis ini berkelok menaiki bebukitan. Hamparan kebun teh nan hijau terbentang tiada ujung. Berpuluh orang membawa keranjang bercaping besar memetik daun hijau cikal bakal para minuman cangkir yang tersaji hangat ketika pagi menjelang. Beragam jajanan terpajang bergelantungan di sisi jalan. Membuat lidah berkecap ingin merasai nikmatnya sebuah singkong nan terpendam berhari bercampur ragi menjadi lunak siap di saji.

…Menembus Langit…