BAB 10 ; SOLO FIGHTER


Bab 10
SOLO FIGHTER

Tiga hari sudah aku berada di sel tahanan Polsek penjaringan. Akhirnya akupun keluar juga setelah bapakku  meminta tolong sahabatnya seorang TNI angkatan darat. Alhamdulilah karena bantuan om Prapto, aku bisa keluar tanpa membayar uang tebusan apapun.

Segera aku kembali bersekolah, kali ini aku di minta orang tuaku untuk tidak bergabung dengan teman-temanku yang lain. Aku di haruskan berangkat sendiri dengan tidak menggunakan seragam sekolah. Aku memakai  celana jeans dan kaos. Berangkatlah aku sendiri menaiki angkot dan turun di Jembar. Sampai di jembar akupun menunggu metromini 02. Tampak di seberang jalan terlihat sekerumunan musuhku sedang bersantai. Beberapa orang tampak clingak-clinguk melihatku, aku berpura-pura tenang dan berakting seperti seorang pekerja. Dua orang tampak datang menghampiriku. Aku sangat gelisah. "bisa-bisa aku di pukuli lagi di tempat ini." Gumanku. Aku panik. Apa yang harus aku lakukan. Dua orang yang menghampiriku tampak curiga dengan gelagatku yang gelisah. Mereka semakin dekat dan menghampiriku.

 "Lo anak PLO ya?" Tanya mereka dengan nada mengancam.
"Iya gw anak PLO." Jawabku dengan kasar serasa memberikan bogem mentah ke salah satu wajah musuhku dan aku berikan tendangan ke satunya lagi. Tampak mereka tersungkur ke jalan raya, akupun segera ambil langkah seribuh. Kabur secepat mungkin. Sesekali aku tengok ke belakang. Sekitar 20 orang berlari di belakang mengejarku. Aku terus berlari sekuat tenaga mencoba mengejar sebuah mobil box dan akhirnya "kena". Aku berpegangan di belakang pintu mobil box yang sedang berjalan sampai akhirnya musuh-musuhku jauh tertinggal.

Sudah hampir 2 minggu ini aku selalu menggunakan jeans dan kaos pada saat berangkat dan pulang sekolah. Ketika waktu pulang sekolah tiba, aku kadang sembunyi di kamar mandi atau di bengkel sekolah karena takut di ajak teman-teman pulang bareng. Aku pulang sekolah setelah aku merasa teman-temanku pulang terlebih dahulu. Kadang sampai malam aku baru sampai di rumah.

Aku bosan selalu Kucing-kucingan dengan teman. Sering menghindar, pulang sore bahkan sampai malam, lapar karena uang jajan yang pas-pasan dan perasaan takut teramat dalam  karena harus pulang pergi sendiri penuh kekhawatiran. Di tambah lagi kejadian salah satu temanku yang  baru-baru ini pulang pergi sendiri dan akhirnya tertangkap oleh musuh dan di pukuli sampai koma di rumah sakit. Untuk membunuh rasa takutku, Aku memutuskan untuk membeli dan membawa sebuah samurai yang selalu aku bawa di dalam tasku pada saat berangkat dan pulang sekolah. Aku sedikit tenang dengan adanya samurai di tas ku ini. Setidaknya aku tidak akan sampai koma karena di keroyok. Aku akan  bertahan diri dan bisa melawan apabila aku di keroyok lagi. Tapi di lain sisi aku takut  tertangkap Polisi. Bakal masuk penjara lagi nanti. Kasihan bapakku. Bakal suram masa depanku. Pikiranku selalu was-was gelisah resah, keringat tercurah membasah diri Setiap kali melihat Polisi berdiri dengan perut buncit 5 senti. Jantungku berdetak hebat tak kala dia menatap tajam mencari mangsa untuk bisa di gebuki. Setiap melihat kerumunan anak sekolah, akupun bersiaga tingkat tinggi. Ku genggam erat samurai di dalam tas ini siap ku tebaskan kepada siapapun yang akan merampas kedamaianku.

Berminggu-minggu aku bersolo karir. Aku berangkat pagi-pagi sekali dan aku pulang larut malam. Begitulah seterusnya. Aku cape dan makan hati.
"Ini sekolah atau bertahan hidup?" Bathinku tersiksa. Andaikan saja aku masuk SMA, mungkin aku sudah menjadi ketua Osis lagi, mungkin aku sudah jadi ketua kelas atau pemimpin upacara bahkan mungkin aku bisa berganti-ganti pacar.  Karena aku yakin, tampangku sekarang sudah jauh lebih baik. Aku terlihat manis dan pintar. Pasti banyak gadis yang ingin menjantani aku.Merasakan kebrutalanku dalam bercinta. Bukan malah seperti ini nasibku.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Aku memang harus menjadi seperti sekarang ini. Di sekolah selalu belajar soal teknik. Belajar bubut, ngeLas, menggrinda, buat ukiran dari besi, menggambar bahkan sampai reparasi mesin, sehingga  keseharianku selalu di penuhi dengan asap debu, oli dan keringat. Yaaaa inilah jurusan yang aku ambil, "teknik mesin industry."

Suatu ketika aku pulang sekolah sekitar jam 4. Aku naik sebuah mikrolet M15 jurusan kota-Priok. Ketika melewati daerah jembar, aku lihat sekelompok anak sekolah sedang tawuran. Semua kendaraan berhenti dan putar haluan menghindari kekacauan. Yaaahhh mereka adalah teman-temanku yang pulang terlebih dahulu dan kembali mereka di hadang anak BOEDOET.
Kembali aku di terpa gelisah. Hatiku resah. Mereka adalah teman-teman  sekelasku yang sedang berjuang untuk bisa pulang. Sedang  aku hanya duduk diam berlabel pecundang. Banyak teman-temanku yang kewalahan, tapi mereka berjuang keras untk terus melawan. Teringat kembali bagaimana di tempat ini aku di keroyok, aku di pukuli dan semua milikku di rampok. Jiwaku mulai berontak, darahku mendidih, aku emosi mengingat kejadian itu.

 “CUKUP." Aku cape teterusan kabur-kaburan menghindar. Aku bosan  bersembunyi. Ini adalah masaku untuk membela hakku. Aku akan berjuang untuk ini.
Ku ambil sapu tangan coklat dari dalam tasku. Ku pasangkan sebagai cadar  penutup wajah. Aku turun dari mikrolet. Kubuka resleting tasku. ku rogohkan tangan kananku. Kungenggam erat samuraiku dan berjalan menuju ke teman-temanku untuk bergabung.

 "Jangan jauh-jauh, ambil batu tapi jangan di lempar, ayo baris memanjang, buat benteng memanjang." Teriakku kepada teman-temanku sambil membuka sedikit cadarku. Teman temanku agak kaget dan heran melihat kehadiranku dengan berbaju bebas dan membawa samurai putih panjang mengkilat kilau terbias sinar matahari. Mereka segera mencari batu, berbaris berdekatan memanjang. kami jalan beriringan pelan pelan  menuju ke garis depan mendekati teman-temanku yang sibuk bertempur di barisan depan.
“Jangan di lempar batunya sebelum gw suruh." Teriakku. Semua teman-temanku tampak berani dan bersemangat mendampingi aku.  apalagi dengan samuraiku yang panjang yang aku bawa. Ini waktunya untuk membuat mereka mundur sehingga kita bisa pulang.
Teman-temanku di baris depan masih sibuk melawan, aku dan lapisan belakang pelan-pelan merangkak ke depan melapisi kekuatan depan.
"Siapppppp!!!" aku teriak sambil mengacungkan samuraiku ke atas
"Satuuuuuu...duaaaaa..Tigaaaaaaa...Pluitttttttttt..." Serempak kami menghitung dan berteriak bersama sambil berlari dan melemparkan batu bersamaan ke arah musuh di tambah samurai yang aku acung-acungkan ke atas. Seperti air banjir dari atas gunung kidul, seketika itu juga musuh-musuh kami kaget dan mundur kabar-kabur kalang kabut tunggang langgang. Kami terus mengejar mereka sampai mereka masuk kampung. Segera kami cepat-cepat  naik bis dan bisa melewati mereka. Aku terengah-engah di dalam bis. Beberapa kakak kelasku melirik dan mengacungkan jempol kepadaku. Si ompong menepuk-nepuk bahuku.

 "Kemana aja lo yok ? gw pikir lo jadi pecundang setelah abis di penjara." Ledek Si ompong dengan sedikit ketawa di hiasi giginya yang kuning,dengan sedikit hijau daun terselip diantara celah giginya yang melompong di tengah bolong. Sesaat aku sempat tertawa dengan ejekan ompong karena geli lihat giginya yang ompong.
Kejadian hari itu terus berlanjut, aku kembali bergabung dengan teman-temanku. Bukan cuma aku, sekarang banyak teman-temanku yang juga sudah membawa senjata tajam. Ada yang membawa celurit, Golok bahkan kampak sekalipun. Semakin banyak teman-teman bawa senjata, kami semakin percaya diri.

Tawuran demi tawuran terus aku alami sepanjang  sekolahku. Makin hari aku makin bernyali, aku semakin berani dan semakin brutal. Selain tawuran aku juga pemakai Ganja. Hampir setiap malam aku menghisap ganja. Kebrutalanku kian menjadi dan ini terbukti ketika sedang menghisap ganja di tempat tongkrongan terdengar teriakan Maling-maling di sekitarku dan tampak seorang laki-laki berjalan setengah lari sambil menuntun sebuah sepeda motor. 

"Lah itu kan motor pak RT, siapa tuh orang." Kata temanku. Tanpa pikir panjang dialah maling yang di maksud. Aku dan sekitar 8 teman-temanku yang asyik menghisap ganja langsung mengejar itu maling dan mengeroyok, memukuli sampai dia babak belur. Kami sempat di lerai oleh tokoh masyarakat agar berhenti memukuli dan di serahkan saja ke Polisi. Entah setan mana yang merasukiku tiba-tiba saja aku mengambil sebuah batu bata di sampingku dan aku hempaskan batu bata itu ke kepala si maling.
 "braakkkk.” Batu bata pecah, darah memuncrat dari mulut dan kepala Si maling.
"Anjing lo ya, berani-beraninya maling di kampung gw.” Teriakku penuh emosi. Si maling terkapar di tanah berlumuran darah. aku di seret dan di ajak pergi meninggalkan tempat itu karena takut  akan berbuat sesuatu yang lebih buruk lagi.
Yaahhh. Aku yang dulu anak desa lugu, culun, bodoh dan ketinggalan jaman sekarang sudah berubah menjadi brutal.

Aku sudah tumbuh menjadi lelaki pecandu ganja, aku sudah menjadi salah satu jagoan tawuran di sekolah. Hari-hariku selalu di warnai dengan kebrutalan dan masalah.
 Tawuran demi tawuran terus aku alami. Kadang kami tertangkap dan di penjara 1 malam atau 2 malam kemudian di lepaskan lagi. Terkadang kami juga sering di pukuli Polisi selagi tertangkap. Tapi itu semua tak membuat aku jera. Setiap kali ada Polisi, aku selalu membuang samuraiku atau menyembunyikannya. Dan mengambilnya lagi apabila situasi sudah aman. begitu seterusnya sampai masa kelulusanku hampir tiba. Tidak terasa sudah 3 tahun aku mengalami masa sekolah yang mencekam. Aku ingin cepat–cepat  menyudahi masa sekolah ini dan mendapatkan kehidupan yang baru.




“Cukup. Aku cape teterusan
 kabur-kaburan menghindar.
Aku bosan bersembunyi. Ini adalah masaku untuk membela hakku.
Aku harus berjuang untuk ini.”


...Menembus Langit...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar