Bab 13
Menjual harta
mati...
Menjual harga
diri...
Tibalah kami di rumahku. Rumah
keluarga nan usang tiada layak di huni walau masih tegar berdiri
karena di topang oleh kayu jati kokoh yang tidak akan pernah rapuh. Satu
persatu keluarga besarkupun berkumpul. Bapakku adalah 9 bersaudara dan ibuku 11
bersaudara. Hampir 1 kampung di sini adalah saudara semua.
Langsung saja apa yang sudah
kami rencanakan di ungkapkan di acara musyawarah keluarga bahwa kami hendak
menjual tanah dan rumah ibuku untuk biaya pendaftaran TNI angkatan darat. Tak
sedikit pihak keluarga yang mencibir dan menunjukkan sikap tidak senang. Tanah
dan rumah adalah warisan leluhur turun temurun yang selama ini tidak pernah di
perjual belikan, baru pada masa dinastiku inilah rencana jual tanah itu ada.
"Pak
lek, buk lek ,,,,aku saiki wis gede, tanah dan rumah iki wis mutlak bakal jadi
milikku. Aku pengen duwe masa depan sing jelas, aku ndak mau jadi petani karena
aku ndak bisa mencangkul atau tandur pari. Iki satu satunya cara supaya aku
bisa jadi wong sing duwe pangkat. Sing pasti, uripku bakal ning kuto ...”
Aku mulai bicara dengan bahasa jawa walau agak
bercampuran menjelaskan pemikiran yang aku inginkan.Tidak ada tradisi di kampungku
yang menjual tanah warisan dan akulah anak pertama yang melakukan itu. Banyak
orang kampung yang menghina dan merendahkan keluargaku. Tapi aku tetap sabar
dan tidak mau menggubris omongan orang kampung itu.
Transaksi penjualanpun dilakukan.
Keluargaku mulai menawarkan tanah dan rumah ke semua orang. Ada yang
berminat membeli tapi dengan harga
murah. Menawar tapi penuh Penghinaan.
Sangat jauh dari kepantasan harga.
Sudah hampir 2 minggu aku di
desa menunggu pembeli. Bapakku mulai sering sakit. Asmanya terus
kumat. Tiap malam dia tidak bisa tidur karena nafasnya terengah-engah. Persediaan obat sudah habis.
Copy reseppun tidak di bawa. Sering kali aku bangun malam bahkan dini hari
untuk membantu memijat punggung bapakku dan menemaninya dalam kesakitan.
Pak
kita periksa ke rumah sakit aja ya pak, biar di kasih obat." Pintaku ke bapak.
"Ndak
usah Le, apa kata orang kampung kalo sampai bapak di bawa ke rumah sakit,
tambah terhina nanti keluarga kita. Di tambah lagi kita tak ada uang untuk biaya,
wis bapak kuat kok, kowe tidur lagi aja
ya." Jawab bapakku dan menyuruh aku
kembali tidur.
Desa tempat tinggalku sangat
lah jauh dari Rumah sakit. Ini butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk ke kota menuju Rumah sakit. Tidak ada klinik ataupun
Mantri. Hanya orang yang parahlah yang akan di bawa ke rumah sakit dan tradisi
di kampungku apabila ada orang yang di bawa
ke rumah sakit pasti berakhir dengan kematian. Maka setiap kali ada yang sakit dan di bawa ke
rumah sakit, pasti di antar
beramai-ramai seperti arak-arakan di sertai tetangisan. Mungkin inilah yang
tidak di inginkan bapakku, takut jadi omongan orang se kampung.
"Pulang
dari Jakarta 7 tahun, tapi pulang ndak bawa uang, malah mau jual-jual warisan.
Eh Belum juga laku tanahnya, sudah harus di gotong ke rumah sakit. Malu malu."
Mungkin itulah pemikiran orang
kampung yang bakal di tujukan epada keluargaku yang di takutkan Bapakku.
Makin hari keadaan Bapakku
makin memprihatinkan. Aku sudah tidak sabar menunggu lagi. Aku harus dapat uang
segera agar bisa kembali ke Jakarta untuk mengobati Bapakku.
Akhirnya akupun segera menjual
tanah dan rumahku dengan harga paling rendah dan sangat murah. Aku jual tanah
dan rumah ibuku seharga 20 juta. Ini benar benar harga penghinaan. Tapi aku
tetap ihklas. Bapakku harus cepat berobat.
Aku hitung semua total uang
dengan penuh kesedihan. Hampir semua pecahan kecil. 500,1000,5000 dan 10 ribuan
. Inilah pertama kalinya aku menghitung uang 20 juta dengan kondisi uang lusuh, jelek dan hitam. Setelah aku hitung,
aku gulung uang itu dengan kelipatan 1 juta dan aku ikat dengan karet gelang.
Aku masukkan ke dalam 4 kantong celana pendek dan aku lapisi dengan celana
jeans.
Bergegaslah aku meninggalkan
kampungku penuh kekesalan, kepanikan dan amarah. Segera aku membeli tiket
kereta malam Gaya baru senja utama dan melaju ke Jakarta. Suasana kereta
kembali ramai, banyak para penjaja makanan mondar-mandir melewati gerbong
kereta yang berkarat penuh lubang jauh dari kata nyaman. Bapakku tampak semakin
lemas. Semalaman suntuk aku terus membantu bapakku memijat punggungnya.
Waktu menunjukkan pukul 3
pagi. Bapakku tampak semakin lemas. Nafasnya semakin perlahan melemah. Aku
benar sungguh panik dan berkeringat
hebat.
"Pak...gimana
keadaan bapak, bapak kok makin lemas, ayo pak aku mesti gimana." Aku mencoba bertanya.
"Wis
Bapak kuat kok le, wiss kowe istirahat aja, Bapak pasti kuat sampe di rumah dan
ketemu emakmu." jawab Bapakku.
Waktu menunjukkan pukul 5
pagi, kereta kami sudah memasuki bekasi, aku lihat keadaan bapakku semakin lemas.
Semua orang di dalam gerbong menjadi peduli dan membantu aku. Semua memberikan
saran dan masukan. Aku sudah tidak tahan melihat penderitaan bapak, dia tampak
seperti tersiksa.
"Pak
...ini udah ga bener. Bapak semakin
parah. Kita turun di stasiun depan dan langsung naik taksi ke rumah sakit." Pintaku peuh harap
bergelisah.
Kepanikan mengisi keramaian di
gerbong ini. Gelisah ini seperti membelengguku untuk memaku diri tanpa jawaban
jawaban pasti. Bisingnya suara membuat otakku makin tumpul untuk bergerak tanpa
tindak. Entah apa seharusnya ku berbuat. Pilihan terberat untuk menentukan
adanya sikap. Tidak adanya jalan berpikir mencari keputusan pasti demi sebuah
solusi. Sebuah masalah menjadi beranak
pinak tanpa menyadari bagaimana harusnya diri ini mencari kunci untuk membuka
sebuah pintu jawaban yang memberi
sedikit pencerahan. Ya Allah. Kuatkanlah Bapakku ini.
"Pulang
dari Jakarta 7 tahun, tapi pulang ndak bawa uang, malah mau jual-jual warisan.
Eh Belum juga laku tanahnya, sudah harus di gotong ke rumah sakit. Malu
malu."
...Menembus Langit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar