BAB 59 : MENEMBUS LANGIT...



“Selamat pagi. Selamat datang. ABC sebelah kiri. DEF sebelah kanan.“ Aku menyambut para penumpangku dengan sangat ramah. Nordin masih sangat kerepotan dengan kertas di tangan. Terus dia menulis sesuatu penuh kebingungan. Ku lihat wacik sibuk membongkar-bangkir baju pelampung. Entah apa yang dia cari. Belajar menghitung atau hanya berpura bersibuk diri. Ridho sendiri melamun mematung diri memelototi kertas di tangan sambil sesekali gegarukan kepala di garuk. Sepertinya para sahabatku  itu masih belum selesai melakukan check list equipment.

Satu persatu para penumpang berdatangan memadati cabin. Aku berjibaku membantu penumpangku meletakkan koper mereka, mengarahkan ke tempat duduk dan meminta mereka untuk tidak mengeblok jalan. Aku pria berdasi tapi masih berjiwa kuli. Aura kuliku masih melekat erat, lengket terjiplak kering susah di hempas. Semua penumpang yang membawa koper langsung ku sambut dan ku angkatkan koper mereka ke luggage bin. Terus terusan seperti itu. Ku lihat para sahabatku berdiri bingung mesti harus apa.

“Yok, gua mesti ngapain nih sekarang? Kasih gua kerjaan sih, biar gua ga kaya patung pancoran begini. Jangan semua koper loe angkatin semua. Bagi ke gua lah.“ Nordin memelas penuh iba. Memintaku untuk membagi jatah kerja. Rupanya dia juga ingin menjadi pria berjas yang berjiwa kuli.


Akhirnya, akupun berdiri di belakangnya. Dia yang pertama akan menyambut tamu. Datanglah seorang wanita muda. Bercelana pendek sangat pendek. Kaki putih berbetis padi. Paha mulus terlihat mulus. Menghasut mata untuk tidak berpaling muka. Pinggulnya terbungkus celana bahan tipis pendek ketat dengan pinggang kecil sungguh ramping semakin menunggingkan tonjolan belakang yang berbelah dua bak bumper semar dalam tokoh pewayangan.

Merambat ke atas kaos tang top putih transparan menyamarkan dua bulatan besar yang berbungkus kain berkacamata merah. Sangat jelas terlihat bulatan itu menggunung memuncak dan berpucuk kecil bulat. Belahan putih menggoda tiada tahan membuat si kepala botak cecenutan. Belahan yang memabukkan. Edannn benar. Aku jadi ingat wanita berkuda. Ciat ciattttttt.

Apa yang terjadi dengan Nordin? Dia hanya mematung diri. Janjinya yang ingin membantu malah terpaku. Ku lirik wajahnya sekejap gerangan apa yang tersirat. Astagaaaa…! ternyata matanya tajam tiada kedip menyudut belahan bulatan si gunung kembar.

“Nordinn….kerja kerjaaaaa.” Bisikku menyadarkan fantasinya. Dia terkaget mendengar aku bergerutu. Segera dia menawarkan diri untuk membantu. Di persilahkannya dia duduk setelah sebelumnya berkali mengusap bangku dengan jemari menjauhkan debu yang di nilainya mengganggu pinggul si wanita itu. Macam tukang ojek yang mendapatkan pelanggan pertama ala penglaris.

Setelah duduk, sekilas masih sempat melirik belahan yang jelas terlihat dari sudut tampak atas. Perlahan di angkat koper si wanita itu sambil mata terus tertuju ke belahan di dada. Dibantunya dia memaki sabuk pengaman, di mintanya menekan tombol apabila butuh bantuan. Benar-benar melayani tak hanya hati tapi juga birahi.Dasar Mesum.

“Hadeeeeh. Service sih service, tapi gak usah berlebihan gitu kali bro.” Sindirku sambil cembetutan.

“Halah. Bilang aja loe juga mau. Ngiri kan? ntar gua kasih ke loe kalau ada lagi. “ Balasnya sambil cecengiran. Tetap matanya mendarat bebas ke belahan penuh misteri birahi.

Nordin terus membantu mengarahkan penumpang. Mengangkat koper tapi tidak mengelapi kursi dan menekan tombol. Itu hanya servis pribadi untuk wanita sexi tadi.

“Yok. Giliran loe sekarang. Tuh ada tamu kebingungan. Bawa barang gede pula. Jatah loe tuh. “ Nordin memintaku untuk berganti posisi.


Astaga…kampret si Nordin. Bukan barang bawaannya yang gede tapi memang badannya yang gede. Setubuh wanita bertubuh besar. Berbetis gajah. Tak jelas mana pinggul mana pinggal mana perut. Semua tampak seperti gelondongan. Dua bulatan di dada terlihat besar, mengelandur-gelandur berlonjong panjang hasil kawin silang antara nangka buto dan pepaya jumbo. Lehernya besar berlapis-lapis bak shock beker motor kredit milik Pak Bakri si mandor tebu. Hidungnya besar bagai centong sayur. Matanya meletat melotot bersipat hitam bagai kunti cekikikan gelayutan di atas pohon asam. Semua terlihat mengerikan.
Ku lirik Nordin sambil ku pasang bibir cemberutan,“kampret kau” Mulutku sedikit meracau di balas cekikikan Nordinn penuh kepuasan. Duduklah dia di kursi dekat jendela darurat. “Wahhh kasus nih.” Batinku sedikit khawatir. Sepertinya masalah akan datang. Sesuai aturan, orang yang berbadan besar tidaklah di perbolehkan duduk di dekat jendela darurat Karen akan semakin menjadi penghalang evakuasi. “Ahhh biarkan saja. Toh ini nanti bakal jadi jatahnya Nordin.“ Batinku sedikit meringis diri.

Dari belakaang Nordinn celingukan memandangku sambil terus menunjuk nunjuk ke arah wanita berbadn besar itu, seperti memintaku agar memindahkannya. Aku hanya sedikit mengerutkan dahi di susul Bimoli (bibir monyong lima centi) berpura tidak tahu apa yang terjadi.

“Makan tuh jatahmu van, jangan belahan dada aja yang loe urusin.” Bisikku sambil cekikikan bibir nyengir. Ketika penumpang sudah komplit, waktunya Novan untuk melakukan briefing Over Wing kepada penumpang yang duduk di dekat jendela darurat. Novan berbolak balik menyibukkan diri tanpa tahu apa yang dia cari. Sepertinya kebingungan kemana wanita gendut itu hendak di pindahkan.

“Nordinn! Ngapain kamu mutar-muter kaya gangsingan? Segera kamu briefing penumpang di over wing”. Perintah Mba Rossi agak worry dengan gedebukannya si Nordinn. Akupun sibuk dengan bagianku yaitu membagikan Infan life vest kepada penumpang yang membawa bayi sekaligus memberikan special briefing.

“Permisi selamat pagi ibu. Ini baju pelampung untuk anak ibu, di pakai hanya pada saat keadaan darurat saja. Jangan di buka ataaupun di sobek ya bu, nanti setelah tiba di kota tujuan, saya akan mengambilnya kembali.“ Aku melakukan briefing dengan kata manis, melebihi manisnya jagung bakar di kawasan puncak tretes Pasuruan.

“Dan apabila masker oksigen jatuh seperti ini, segera tarik dan pakai ke ibu terlebih dahulu, sebelum membantu anak ibu. Terima kasih bu. apabila kurang jelas, jangan segan memanggil kami kembali. Selamat terbang.“ Lagi-lagi aku bergaya ala waria yang ingin memanjakan pelangannya dengan kata penuh ramah. Aku sunguh tidak sadar, yang dulunya urakan, sekarang berubah lembut melebihi lembutnya serabih jogya.mak nyus tak kala di rasa.
Sementara itu ku lihat Nordinn berbincang penuh keseriusan dengan si wanita raksasa. Ini adalah usahanya untuk berupaya memindahkan wanita besar itu ke kursi lain asalkan jangan di jendela darurat. Terlihat terjadi perdebatan. Sepertinya wanita itu bersikukuh tidak mau di pindahkan.

“Badan saya ini besar, di pesawat ini Cuma di dekat jendela ini space untuk kaki yang paling lega. Kalau kamu pindahkan saya ke tempat selain ini, saya bisa terjepit. Kamu tidak boleh membeda bedakan dong. Saya juga harus punya hak yang sama. “ Dalih wanita besar itu. Novan terlihat gugup tak tahu harus berucap dan bertindak apa lagi. Dia seperti orang linglung yang sesekali menatapku dan Mba Rosi yang sedang mengamatinya.

“Boleh saya bantu novan mbak?“ Pintaku meminta izin.
“Jangan yok, biarkan dia belajaar menghadapi masalah. Sampai sejauh mana dia punya skill solves problemnya.” Mba Rosi menolak pintaku.

Kami terus mengamati Nordinn, berkali memberikan penjelasan tapi berkali wanita besar itu tetap tidak mau dipindahkan sampai akhirnya wanita besar itu berdiri dan mendorong Nordinn sampai terjatuh ke belakang. Meluapkan emosi bercaci maki. Aku dan Mba Rosi pun bergegas mendekati. Mba Rosi mendekati wanita besar itu dan terlihat menjelaskan sesuatu. Aku membantu sahabatku ini untuk berdiri dan merapihkan diri. Ku ajak dia pergi meninggalkan wanita besar itu. Entah perbincangan apa yang terjadi, wanita besar itu sudi berpindah diri. Pesawat sudah penuh dengan penumpang. Aku dan sahabatku sibuk meminta penumpang untuk mematikan telepon genggamnya. Di depan terlihat Wacik sedang bersitegang dengan salah satu penumpang yang sibuk bertelepon ria.

“Silahkan di matikan teleponnya pak. Pesawat ini akan segera di berangkatkan.“ Pinta wacik dengan sedikit kental logat surabayaannya.

“Iya. Saya juga tahu diri kok. Kalau nanti pesawatnya berangkat akan saya matikan.“ Sekilas jawaban ketus sambil terus berbincang lagi.

“Maaf pak. Tapi telepon bapak harus sudah di matikan sekarang juga karena ini demi alasan keselamatan banyak orang di pesawat ini.“ Wacik menjelaskan dengan nada sedikit tegang.

“Eh Mas Pramugara! Saya bukan orang bodoh ya. Saya orang yang taat aturan kok. Tidak mungkin saya tidak memaatikan handphone saya. Nanti kalau saya selesai bicara juga akan saya matikan.“ Jawab penumpang penuh kesal.

“Kalau bapak taat aturan, harusnya bapak sudah mematikan telephon bapak dari awal memasuki pesawat ini, karena begitu peraturannya. Bapak mengerti aturan atau tidak?“ Balas Wacik dengan nada tinggi dan kesal yang teramat.

Akhirnya adu bacotpun tak bisa di elakkan. Penumpang itu beremosi begitu juga wacikku sang jagoan Surabaya. Wacik tidak suka di bentak dengan cara kasar. Dia merasa melakukan sesuatu yang benar. Aku hanya bisa berdiam diri. Bingung harus melakukan apa. Akhirnya kembali Mba Rosi menengahi. Akupun membawa wicak pergi sambil terus dia memelototi penumpang berhandphone itu.

“Dia pikir gua anak kecil apa? Di bentak-bentak diam aja. Asuuu tuh penumpang.“ Gerutu wacik terus menerus.
Sementara itu Ridho di bagian depan sibuk mondar-mandir penuh wajah tegang.

“Yok. Gua mesti kerja ngapain lagi nih. Bingung gua?” Bisik ridho dengan wajah asam campur asinan. Sangat penuh aura kegelisahan.

“Udah loe mondar-mandir aja. Pura-pura ngecheck apaan kek, yang penting loe jangan diem begitu. Plonga-plongo bengang-bengong.“ Saranku sambil sedikit senyum mengejek.

Seorang tua tampak berjalan sambil celingukan seperti kebingungan. Bagasi besar di tenteng di tangan. Wajahnya yang keriput dengan gigi yang hampir tak berbentuk membuat pria tua ini memberi iba untuk segera ku layani.

“Selamat pagi pak. Bisa saya bantu. Nomor berapa tempat duduknya?“ Sapaku sambil mencoba ingin membawakan bagasinya.

“Tak usah kau bantu. Kau pikir aku tak tahu dimana nomor dudukku.” Suara keras berlogat Medan sangat kental. Aku seperti di bentaknya. Niat baikku untuk membantu di muntahkannya. Sedikit terjaget sambil mengelus dada sambil memperhatikan bapak tua itu bercelingukan ria. Semakin aku perhatikan dia semakin kebingungan.

“Maaf pak. Tempat duduk bapak nomor berapa?“ Kembali aku coba menawarkan diri untuk membantu.
“kau itu. Sudah ku bilang aku tak mau kau bantu. Aku taulah dimana aku duduk. Sudah pergi sana.“ Astagaaaaaa….lagi-lagi niat baikku di mentahkan. Terus dia berjalan menuju ke tengah cabin. Terlihat Mba Rosi berpapasan dan terjadi sebuah percakapan. Mba Rosi menunjuk kearahku dan berkedip memberi kode untuk membantu bapak tua itu.

“Dasar bapak tua ortodok. Tempat duduknya nomor 1A paling depan malah keluyuran sampai ke tengah. Tadi niat di bantu di bilangnya tak mau.“ Gerutuku penuh kesal dongkol segede buah kedongdong menjedol di tenggorokan.

Mba rina pun bersiap untuk menutup pintu. Segera kami mempraktekkan tugas ini. Dengan kekuatan penuh, ku tarik pintu ini ke samping dan kearah dalam. Ku pindahkan girt bar nya kearah bawah lantai, attach dengan snap hooknya. Ku silangkan red flagnya dan kemudian berucap, “Doors arm and cros check. “

Pesawat perlahan sudah mulai Push back. Sekarang tiba waktunya kami untuk melakukan demo safety. Kali ini adalah jatahnya wacik dan ridho. Mereka terlihat sudah bersiap diri. Siap dengan raut wajah gelisah pucat pasi. Siap dengan keringat di dahi yang terus di usapinya berkali-kali. Aku bisa merasakan ketegangan mereka. Berdiri di amati beratus mata. Semuat mata tertuju padanya. Perlahan Mba Rina membacakan announcement dengan penuh kemerduaan suara. Di awali dengan perkenalan awak pesawat yang di sambut senyum palsu si wicak dan ridho. Senyum berbeban 5 kilo gram. Sangat berat dan memaksa di paksa. Senyum di bibir tapi menangis di hati. Ketegangan tingkat tinggi tersirat di wajah tak bisa di bohongi. Keringat sebesar jagung menempel gagah di sekitaran dahi mengalir berjatuhan membasah ke leher. Gerakan yang terlihat kasar. Bagai robot penuh kekakuan. Sangat tidak sedap di pandang mata. Tidak selayaknya dengan para Pramugari seperti biasanya. Cantik berhias senyum, gemulai gerakan menggoda mata untuk terkesima. Kali ini sangat bagai bumi dan langit. Sangat jauh berbeda. Demontrasi ini benar-benar hancur berantakan membuat beberapa penumpang cekikikan. Apalagi gerakan yang kejar-kejaran yang terkadang tak sama. Sungguh sangat mengocok perut. Beberpa penumpang ada yang terkesima penuh keheranan, saling senyum bahkan tertawa kegelian melihat kelucuan gerakan para sahabatku itu. Begitu pula aku.

“Priyo. Jangan di ketawain!“ Bisik Mba Rosi menegurku.

“Iya maaf mbak. Tapi mereka lucu mbak.“ Sambil terus menyumpal mulutku menahan tawa.

Wajah semakin merah. Gerakan makin tak terkendali. Wacik dan Ridho semakin terlihat kebingungan. Bingung karena ratusan mata memandangnya penuh keanehan. Ada yang tertawa senyum bahkan melongo keheranan.
Akhirnya selesai sudah demo safetynya. Setelah melakukan final cabin check before take off, aku duduk berkumpul bersama di kursi belakang.

“Puas loe yee ngetawain kita. Asuuu.” Gerutu wacik sambil mengelap-elap keringatnya.
“Awas loe yaa. Bakal gua ketawain ntar kalo giliran loe yang demo.” Ridho menimpali. Aku dan Nordin hanya cekikan berdua.

“Makanya jangan otak kotor terus. Fokus sama gerakan. Selangkangan terus sih yang di pikirin jadi gak kompak deh. Wkwkwkwkwkk….” Nordinn meledek penuh kegelian.

Kamipun segera duduk dan mengenakan sabuk pengaman. Suara deru mesin menggeru memecahkan telinga. Sangat keras dan berisik yang teramat. Aku mulai gelisah. Aku sunguh terlihat ketakutan. Suara mesin semakin menderu tinggi dan bertambah keras. Perlahan pesawat ini mulai berjalan lambat, mulai agak cepat dan semakin cepat dan akhirnya melesat berkecepatan tinggi.
Tiba-tiba saja ku rasakan beda dalam diri. Aku merasa tak nyaman. Perutku berkontraksi mual serasa ingin muntah.

“Wuekk wueekkk…..” Mulutku meracau.
“Eitsss eitssss… jangan yok, Jangan yok. Jangan muntah. Kasusss loe?“ Suara Nordinn ketakutan terkena muntahan.

“Asuuuu…tampang preman. Mantan pentolan tawuran. Masa naik pesawat mabukan? Ndesoooooo loe yok.“ Wacik mencela penuh ketakutan. Takut mereka terkena muntahan juga.

“Ini pertama dalam sejarah gua naik pesawat bro.” Ucapku sambil terus wak-wek wak-wek. Mataku merah, keringat dingin bercucuran. Ku dekatkan kantong muntah ke mulutku takut mengeluarkan muntah secara dadakan. Novan mencoba memijat leherku untuk membantu mengelurakan muntah ini. Tapi tak bisa.



Pesawat terus membumbung tinggi. Terbang bebas meninggalkan bumi. Menembus langit menabrak awan. Menghantam gelombang angin terus menanjak menjelajah langit. Akupun terkesima memandang ke bumi. Aku terharu. Di sela rasa mualku, aku sedikit terobati. Aku terbang… aku sudah bisa terbang tinggi sekarang. Aku sudah bisa menembus langit..
Linangan airmata bergelombang menumpuk diri. Tak sangka di sangka aku bisa setinggi ini. Yaahhh. Inilah awalku….inilah ceritaku…..menembus langit….




Dua bulatan di dada terlihat besar, mengelandur-gelandur berlonjong panjang hasil kawin silang antara nangka buto dan pepaya jumbo. Lehernya besar berlapis-lapis bak shock beker motor kredit milik Pak Bakri si mandor tebu. Hidungnya besar bagai centong sayur. Matanya meletat melotot seram bersipat hitam bagai kunti gelayutan cekikikan di atas pohon asam.

…Menembus Langit…


1 komentar:

  1. Best Free Spins Casino Games
    1. The Catfather. 수원 출장마사지 The Lion King · 보령 출장안마 2. 영천 출장마사지 Elio 7 · 3. Vegas Slots. The Lion King · 4. Rainbow 과천 출장안마 Riches 경주 출장샵 · 5. Booming Stones. The

    BalasHapus