BAB 49 : COMMAND



Ruangan putih berlantai putih beratap putih. Menempel kaca besar di setiap sisi. Memberi terang berkesan elegan. Berbaju putih berdasi kuning berseragam rapih. Berwajah menawan. Sebut saja begitu. Para calon perkerja garis depan ini sibuk ramai penuh ceria. Hati mereka bagai lepas bebas tiada belenggu menyiksa jiwa. Tawa lebar memberi bukti bagaimana hati mereka bersih tak bernoda. Penampilan kami bertiga sungguh menciptakan atsmosfir kelas bukan seperti kelas. Layaknya live perform 3 divo yang di idamkan melebihi kekasih hati mereka sendiri.

Setelah puas dengan sajian yang menyenangkan, Mba Ivopun memulai pelajarannya dengan penuh keseriusan. Wajahnya yang serius semakin memberi kesan mahal yang menciutkan nyali lelaki untuk mendekati. Kecerdasan, kecantikan, kedewasaan dan penampilan yang mewah. Semua terlihat sangat matang. Akan berat para lelaki untuk punya keberanian mencuri hati wanita seperti ini. Wanita sempurna dari segala sisi. Berat beratttttttt.

“Emergency procedure adalah sebuah langkah upaya yang kita terapkan dalam upaya membantu menyelamatkan diri kita dan penumpang kita dari hal yang mengancam keselamatan. Ada Emergency Terrain dan Emergency Ditching. Emergency Terrain adalah langkah yang kita lakukan apabila pesawat mendarat darurat di daratan. Emergency ditching adalah apabila pesawat mendarat darurat di laut.”
Mba Ivo menerangkan bagaimana kita harus bertindak cepat untuk mengeluarkan semua penumpang tidak lebih dari 90 detik setelah pesawat mendarat. Pesawat akan terbakar dan meledak berkeping berserak dan kita akan mati tanpa jasad apabila kita lambat bertindak. Spontan suasana seisi kelas menjadi tegang. Tiada lagi senyum menghias. Tak ada lagi gigi yang unjuk diri. Hanya raut wajah kekhawatiran di raut paras para manusia menawan. Ratih mencoba mengelus pundakku seperti memberi sebuah keyakinan. Memberi kekuatan mental. Ilma terlihat clingak-clinguk menoleh ke kanan dank ke kiri dan Ke belakang untuk mencari teman sepenanggungan akan sebuah arti kekhawatiran dan ketakutan.

“Pintu di ruangan ini sangat terbuka lebar dan memberi kesempatan besar bagi teman-teman sekalian untuk mengundurkaan diri apabila tidak siap dengan resiko pekerjaan ini.“
Mba ivo membuka lebar pintu kelas dan memberi penawaraan kepada kami untuk mengundurkan diri apabila Nyali tidak siap untuk mati.

“Saya siap apapun resikonya mbak. Silahkan Mbak mengajarkan kami, bagaimana kami harus bertindak agar kami bisa menempatkan diri kami menjadi crew yang bertanggung jawab.“ Akupun sedikit bercuap untuk coba meyakinkan hatiku dan para sahabatku. Lebih baik mati di dalam tugas ini daripada mati karena dibunuh kejamnya hidup kekurangan materi.

“Good Priyo. Kamu sepertinya sudah siap secara mentally. Ayo kita tepuk tangan yang meriah untuk menyemangati pekerjaan kita. Demi masa depan kita semua.” Mba ivo memberi semangat untuk membunuh keraguan kami di sertai tepuk tangan meriah seisi kelas ini.
Setelah menjelaskan panjang lebar mengenai Emergency Procedure terutama menegenai pendaratan di darat maupun di laut, kami di minta Mbak Ivo untuk menghafalkan urut-urutan command atau komando yang harus kita teriakkan ke penumpang agar mereka mengikuti perintah kita.

“Brace brace brace. Emergency Emergency. Bendown. Hold your kness
Bahaya-bahaya. Membungkuk peluk lutut.
Open seatbelt. leave everthing. Shoes off. Come this way. Hurry hurry .
Buka sabuk pengaman. Tingalkan semua barang. Lepaskan sepatu. Kemari. Cepat-cepat.
Check outside condition. No fire. No obstacle. Door in arm. Open door. Slide Inflated .Reach the ground. Not to steep. Jump jump hurry hurry.Lompat lompat cepat cepat
Evacuation completed. check cabi, check lavatory, check cokpit, take along emergency equipment.First aid, megaphone and transmitter and jump to the nearest exit“.

Mba Ivopun memberikan contoh dengan sangat mendebarkan hati. Kemudian dia memberikan waktu untuk kami agar menghafal command tersebut dan mencoba mempraktekkannya seperti sebuah simulasi keadaan Emergency.
Seluruh ruangan kelas sangat ramai di penuhi puluhan suara yang sibuk menghafalkan command–comand ini. Begitu pula aku. Kupejamkan mata sambil menghafal perlahan langkah demi langkah urutan komando ini. Bagai ramai di tengah pasar. Bising suara saling bersautan. Ruangan telah bersaksi bagaimana kami memeras otak kami untuk memahami materi ini. Arif berkomat kamit. Imam mondar-mandir. Nordin memijat mijat kepalanya sendiri. Semua terlihat serius menghafalkan dengan caranya masing-masing.
Ketika waktu menghafal sudah cukup. Simulasipun akan segera di mulai. Satu persatu kami di panggil. Giliran pertama adalah si cantik jelita Ilma. Wanita terindah di kelasku ini senyam-senyum berjalan menuju tempat duduk panas di tengah kelas. Mba Ivo akan berperan sebagai Pilot yang memberi command dan Ilma yang akan memberikan komando kepada penumpang.
Tubuh ilma duduk tegak. Dua tangan di letakkan di bawah paha. Senyum cantiknya masih sempat di umbar membuat kami para pejantan cenut-cenutan.

“Brace brace brace.” Teriakan Mba Ivo sangat keras. kami semua terkejut. Wanita yang terbalut indah berparas anggun ternyata bersuara gelegar bak Guntur menyambar bumi.
“Emergency emergency bendown hold your kness. Bahaya bahaya membungkuk peluk lutut.“ Suara Ilmapun menjerit berulang sekencangnya. Otot lehernya tercuat berkuras tenaga.
“Evacuate Evacuate Evacuate.“ Mba Ivo memberikan aba-aba kedua.
“open seatbelt leave everthing...” Command belum selesai Ilma sudah berhenti dan terlihat bingung dengan step command berikutnya. Dia tak bisa berlanjut lagi. Kesempatan kedua pun di beri untuk mengulang tapi tetap saja saja Ilma gemetaran tak hafal tak siap mental. Akhirnya mba Ivopun meminta ilma untuk menghafal ulang lagi.
Begitulah selanjutnya. Satu persatu teman-temanku mencoba melakukan simulasi ini. Ada yang tertawa karena lupa. Ada yang gegarukan kepala karena salah. Ada yang terdiam bisu karena mencoba memikir kata apa selanjutnya. Ternyata banyak temanku yang tak siap melakukan simulasi ini dan banyak mereka yang di haruskan mengulang kembali.

Gilirankupun tiba. Aku merasa sudah hafal dengan command ini. Hanya masalah mental saja. Gugup atau tidak. Lancar atau stuck. Lupa atau ngeblank. Akupun mulai duduk dikursi panas itu dengan tegak. Mata tajam ke depan. Kupegang erat paha bawahku dengan kedua tangan. Ku tutup mataku sekejap mencoba membayangkan bahwa aku sedang dalam benar keadaaan bahaya.
Inilah saatnya aku untuk menunaikan apa yang menjadi tugasku. Menyelamatkan para penumpangku. Bagaimana kalau pesawatku terbakar dan aku terpanggang di sana. Aku tak mau mati muda. Aku mau merasakan jadi lelaki yang tidak kekurangan. Aku ingin membalas jasa Emakku. Aku harus berjuang untuk hidup. Aku harus hidup.
Lamunanku terpecah saat mendengar suara Guntur mengelegar dari mulut Mba Ivo. Sangat menyentakkan dadaku.
“Brace brace brace.”
“Emergency Emergency bendown hold your kness
Bahaya bahaya membungkuk peluk lutut.”
Aku terus berteriak kencang dan mengganggap ini nyata. Yaah pesawatku jatuh.
“Evacuate evacuate evacuate.” kembali suara Mba Ivo memberi perintah ke dua.
“open seatbelt, leave everything shoes off ,come this way hurry hurry. Buka sabuk pengaman.tinggalkan semua barang.lepaskan sepatu. Kemari. Cepat-cepat.”
Aku segera bergegas berdiri setelah membuka sabuk pengamanku dan memberi perintah kepada semua penumpangku agar mengikuti perintahku.

“check outside condition. No fire, no obstacle. Door in arm position. Open the door. Slide inflated. Reach the ground. Not to step.” Aku melakukan pengecheckan di pintu sebelum membukanya. Aku terus berucap sambil lakuku bertindak.
“Jump jump hurry hurry. Lompat lompat cepat cepat. “ Akupun melambaikan tanganku sambil terus berteriak untuk mengarahkan penumpangku agar segera melompat keluar.

“Check cabin,check lavatory,check cokpit. Take along emergency equipment. Jump to the nearest exit.”
Aku berlari kedepan ke belakang berpura memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dan segera melompat keluar pesawat.
Akhirnya simulasiku pun selesai dengan sempurna sampai akhir. Mba Ivopun menyatakan aku lulus. Semua teman sekelaskupun riuh bertepuk tangan memberiku meriah.

“Keren-keren bang. Aku merinding banget tadi ngelihatnya. Seperti nyata.” Ratih menjabat tanganku memberi selamat.


Inilah saatnya aku untuk menunaikan apa yang menjadi tugasku. Menyelamatkan para penumpangku. Bagaimana kalau pesawatku terbakar dan aku terpanggang di sana. Aku tak mau mati muda. Aku mau merasakan jadi lelaki yang tidak kekurangan. Aku ingin membalas jasa Emakku. Aku harus berjuang untuk hidup. Aku harus hidup.
...Menembus Langit...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar