BAB 46: CPR



Ruang tunggu ini begitu dingin. Lampu redup temaram memancarkan kemendungan hati. Bergelisah resah, berkusak-kusuk menatap kosong lukisan dermaga bercerita tentang kapal tersandar memuat barang. Pekerja kasar memikul karung bertelanjang dada melewati jembatan sepapan kayu. Di atas kapal bergambarlah pria berkumis caplang berseragam putih bertopi besi bertengger sebatang bulu berwarna. Mengampit tongkat merokok cerutu berbara api. Inilah gambaran kompeni Belanda si bangsa penjajah. Menjadi Raja di negeri nan kaya raya dan kita hanya kuli di negeri sendiri. Lukisan penuh perjuangan.
Replika sebuah pesawat bergagah megah bertengger di meja kaca bertuliskan Boeing 737 400. Tersinari lampu tembok memberi kesan lebih hidup penuh bangga.“Aku akan berada di dalam pesawat itu.” Gumanku di tengah khayalku.

“Yoo ayo ngobrol. Gimana sekiranya nasib kita?” Sapaan Ilma yang lembut mematahkan lamunanku dan tersadar bahwa aku masih berada di dalam lingkaran masalah besar.
Setelah panjang lebar aku berdiskusi akhirnya kami sepakat untuk kembali masuk ke ruang kelas dan meminta maaf kepada Dr. Amar agar kami bisa kembali mengikuti pelajaran. Ilma terlihat sangat takut. Dia berjalan mengekor di belakangku sambil merengkuh baju di pinggang sedikit mengumpat diri.

“Ah sudahlah ini bukan waktu yang tepat untuk takut meminta maaf. Ketakutanku akan bayang kemiskinan adalah yang paling akut.” Suara hati menyemangati diri. Berharap Dr. Amar sudah tidak emosi lagi.
Akupun mengetok pintu dari luar. Setelah mendengar sautan suara dari dalam kelas untuk mempersilahkan masuk, kami segera memasuki kelas dan langsung di sambut dengan tangga nada Do tinggi bergenre rock metal trash.

“Buat apa kalian masuk? Saya sudah tidak sudi melihat kalian. Satu pengacau satunya lagi sok pahlawan.” Dr amar terus mendumel mencerca penuh kesal.
“Dokter, dok, dok.” Aku berusaha menyela perkataannya.
“Kami kemari ingin minta maaf Dok. Sedikitpun kami tidak bermaksud merendahkan atau tidak menghargai Dokter. Kami mengaku salah dan tidak akan mengulangi lagi. Percayalah Dok. Izinkan kami bergabung kembali. Tolong maafkan kami.” Aku berucap penuh harap, sedikit memelas berwajah sedih. Tangan menyembah di tengah dada, rautku ku setting ala maling yang tertangkap basah penuh iba. Wajah melas penuh bogem mentah. Darah segar mengalir dari setiap sumber lubang. Seperti bawang merah yang di aniaya bawang putih, bawang Bombay dan bawang hujan.
Ilma bak putri cantik bermulut bisu. Hanya linangan airmata menenggelamkan kelopak siap membanjiri pipi. Menunduk sedih bergetar diri. Terpasrah. Demi masa depan, aku harus memelas seperti ini. Ibaku, sedihku, melasku terus ku perankan di depan Dr. Amar. Begitu pula Ilma. Dia terus berperan bagai gadis bisu tanpa scrip yang hanya menangis bergulana diri.

“Sudah duduk sana. Kalau sampai kalian ulangi lagi, tidak akan pernah saya maafkan.” Tidak di sangka peranku ini berhasil meluluhlantahkan hatinya. Aku dan Ilmapun kembali ke tempat duduk dan lega rasanya terhindar dari masalah besar. Alhamdulilah.
“CPR atau cardio pulmanory resustitation adalah teknik untuk memberikan bantuan pernafasan dan teknik memompa dada dengan hitungan khusus agar pernafasan si pasien bisa kembali normal. Lakukan pemompaan di dada selama 30 kali dan di ikuti dengan bantuan pernafasan 2 kali. Begitu seterusnya sampai 5 kali putaran.”
Kembali Dr.Amar memeragakan cara melakukan CPR. Kami sekelas serius memperhatikan langkah demi langkah yang di contohkan sang Dokter.

“Sekarang giliran kalian untuk mencoba. Siapa yang mau maju dan mempraktekkannya terlebih dahulu.” Pinta Dr. Amar. Semua temanku clingak-clinguk saling menatap tanpa pergerakan untuk mencoba menjadi yang pertama.
“Oh kamu si Pahlawan. Coba saja. Mudah-mudahan kamu cukup pintar untuk menjadi yang pertama.’’ Sindiran sang dokter yang mengiang di telinga penuh expresi tidak yakin kalau aku bisa.
“Before doing CPR method, we have to check DRABC first. D for danger. We have to check the area. Must be safe and clear from danger.

R for respond. Ask the victim ‘are you oke sir? While tap the shoulder. If no respon continue to the next step.
A for airways open by doing head tilt chin lift metode. Check if there is obstruction inside of the mouth.
B for breathing. Give rescue breathing and C for compression. Begin compression 30 chest compression to 2 artificial until 5 cycles. One and two and three and four and five and six and seven and eight and nine and ten. And one...”

Tersirat luapan emosi tak kala aku melakukan step C ini. Mataku berkaca penuh linang. Ku pompa dada patung peraga ini penuh penghayatan tingkat tinggi. Ku lontarkan kataku penuh kobar. Aku sangat serius. Aku seperti mengalami hal nyata. Seperti beginilah moment dimana aku memompa dada bapakku sendiri di ujung kepergiannya. Terkujur diam terbaring mati di rumah sakit. Aku memompa dada bapakku setelah sebelumnya ku pukul si Mantri bodoh itu. Terus ku pompa penuh harap tiada lelah terus menerus sampai akhirnya aku di kendalikan Satpam Rumah sakit untuk menghentikan CPRku karena bapakku sudah di anggap tidak ada.
Kenangan itu bangkit lagi di situasi sekarang ini. Semua teman sekelasku termasuk Dr. Amar termangu dan diam terpaku penuh Tanya. Mengapa mataku berlinang? mengapa aku sangat menjiwai sekali? Ada apa sebenarnya denganku? Dr.Amar memecah kebingungan di ruangan ini dengan tepukan tangan yang keras di ikuti oleh seluruh orang di ruangan ini. Semua tatapan mereka tidaklah berpaling hanya kepadaku.

‘’Hai pahlawan. Saya sangat kagum melihat gayamu tadi. Sangat lancar dan berpenghayat tingkat tinggi. Ternyata jiwa sok pahlawannmu setara dengan daya tangkapmu. Bagus bagus.” Dr. Amar berucap puas dengan apa yang sudah aku pertontonkan.
Akupun hanya tersenyum sedih sambil menyeka linangan airmata agar tidak terlanjur terjatuh. Kerinduan teramat dalam hingga merengkuh dasar jurang nan dalam berbalut gelap berhias sunyi. Rinduku untukmu bapakku....



Demi masa depan, aku harus memelas seperti ini. Ibaku, sedihku, melasku terus ku perankan di depan Dr. Amar. Begitu pula Ilma. Dia terus berperan bagai gadis bisu tanpa scrip yang hanya menangis bergulana diri.

...Menembus Langit...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar