Bab 40
SI BIRU...
Akhir dari
pelajaran ini telah usai. Selesai sudah otakku di Opname. Aku butuh udara
kebebasan. Bebas dari apapun. Aku ingin
berjiwa ringan melangkah tanpa segunduk
beban. Berdiri ku
di pinggir tepian menunggu mobil berwarna hijau butut yang selalu
menangis meraung meneteskan asap tebal
teramat deras. Dipaksa terus merayap
walau tua renta sudah mengidap.
Di belakang bulat kendali, sesosok bertubuh
gempal berkumis caplang, sepunting rokok berujung abu terselip sedih di sela
bibir nan hitam pekat terpecah kering
ingin terkelupas. Handuk kumel dekil terlihat mati. Warna yang tersirat jelas tak bernama. Apakah
putih, hitam atau hijau atau jenis warna terbaru yang belum di temukan.
Melingkar lunglai di leher hitam berhias keringat basah bercucuran.
Di sudut
belakang sang asisten bergelantung ceria menyanyikan lagu kota ber- kota.
"Kali...kali...kalideressss. Grogol. Citraland.
Sliipppiiii ... kosong kosong...kosongg...ayo naik aja."
Gaya penipuan
baru yang sungguh menipu. Berteriak kosong di luar tapi terhimpit jubel di
dalam.
Inilah derita
orang tak berkendara. Di tipu tapi mau, berdesak penuh pasrah, berdiri penuh
himpit, bergelantung membau Si bau selangkangan tangan. Serba memprihatinkan. Bukan sekedar
fisikku saja yang berasa tak nyaman tapi batin dan perasaan juga sudah mulai
menyerang tak kala aku harus mengganti jam tanganku ini dengan yang bergelang
rantai.
Celotehan Perempuan itu kembali menampar ingatanku. Bagaimana mimik wajahnya yang memuakkan,
lidahnya yang tajam tiada rasa ber-tenggang. Aku sungguh tersayat. Hati teriris
pedih mendalam di lapisan lubuk terdalam. Apakah aku
datang ke tempat itu hanya menjadi target caci bermaki? Apakah di tempat itu juga adalah sarana bagiku
untuk memamerkan semua kekuranganku ?
"Ya Allah. Bukakanlah hambamu ini jalan terang. Berikanlah hambamu
ini kelebihan untuk menghadapi semua kekurangan."
Aku membatin. Kantung mata penuh dengan linangan tak
sabar ingin tertumpah. Kembali aku menangisi nasibku. Sepanjang jalan aku terus
berpikir keras. Ku paksa otakku untuk mencuri sebuah solusi. Ayo curilah apa
saja yang bisa engkau curi agar bisa aku membeli jam tangan pengganti.
Ngutang sama
tetangga? Ga Akan ada percaya kalo aku bisa membayarnya. Jual barang?, Tak ada barang layak di jual. Sungguh berat masalah ini ku
sandang.
Aku terus
menatap kosong. Tak sanggup lagi memaksa otakku untuk berpetualang mencari
uang.
Melihat
reramaian jalan penuh sangat kesemerawutan. Bunyian mesin knalpot meraung.
klakson bersautan memamerkan suara. Cekikan
anak sekolah membincang sang pujaan. Teriakan kondektur sepanjang jalan
tiada lelah terus mengumandang. Para penjaja makanan naik turun berharap di
beli untuk kelanjutan hidup anak istri. Mulai dari tahu isi, permen lintas kota
antar propinsi, pulpen lima ribu tiga biji, koran sore tentang bom bunuh diri,
aqua kratingdeng nugreantea, sampai pengamen muda menyanyikan lagu Stinky. Berada di
keramaian tubuhku tapi di kesepian jiwaku. Aku benar-benar sendiri.
Hidup tanpa tolongan sanak saudara.
"Ancol ancol ancoll." Teriak Si
kondekture menyadarkan kesendirianku. Segera ku temurun melangkahkan kaki
menuju rumah berdinding kayu tipis berwarna biru. Emakku tampak duduk termangu
didepan pintu menunggu kehadiranku.
Ku cium
tangannya sejenak dan ia berlalu menuju dapur untuk membuatkanku sebuah dinner.
Di mulai dengan Appetizer hidangan pembuka yaitu white warm water adiknya white
wine atau istilah Jermannya air putih
hangat. Berlanjut dengan main course yaitu a bowl with red jengger chicken and
content with the jin noodles with sorban
(sebuah mangkok ayam jago berjengger merah berisikan mie instants
bermerek jin berkepala sorban)
Ku lahap
dengan sangat karena memang dari siang aku hanya lunch a bowl chicken noodles.
Semangkok bakmi bertabur serpihan daging ayam becampur sawi dan daun bawang
yang teriris tipis. Sambal merah dan satu krupuk kaleng bulat putih sebagai
pengrenyah.
Selesai makan
akupun mulai menyampaikan masalahku mengenai nasibku menjadi siswa Pramugara
yang selalu kurang ada.
Kali ini
adalah sebuah jam tangan. Emakku sungguh mendengarkan penuh keibaan. Dia sangat
sedih mendengar tutur kata keluh kesah nan memelas.
"Ya wis le. Coba Emak tak cari utangan dulu ya. Nanti Emak gajian
di bayar." Emakku mencoba memberi jalan keluar dengan
mencari utangan.
Akupun hanya
diam tak menjawab. Aku sungguh teriris. Kasihan emakku berjibaku membela
kepentinganku. Tak lama berselang, emakku kembali membawa sebundel uang kertas
lusuh nan usang
Rp. 5000 dua
lembar, Rp.10.000 dua lembar dan 10 lembar seribuan.
"Emak cuma dapat utangan 30 ribu le. Cari yang murahan saja ya,
yang penting bergelang rantai." Suara emakku berucap penuh nelangsa.
Aku segera
bergegas dan meminjam sepeda ontel tetangga untuk ku kayuh sesegera menuju
pasar malam.
" Mudah-mudahan belum tutup."
Batinku. Setelah bermenit mengayuh ontel tua, akupun tiba di emperan kaki lima
yang khusus menjual berbagai jenis jam. Mulai dari jam dinding beraneka rupa
menyerupai tokoh kartun terkenal. Jam tangan dewasa dan anak kecil yang kaya
akan warna.
Segera ku
menyudutkan mataku memilah-milih jam tangan bergelang besi. Setelah menayakan
kisaran harga dari mulai lima belas ribu sampai dua ratus ribu. Kutemukanlah Si
jam biru. Sangat sederhana dan memang terlihat murahan karena memang harganya
murah. Hanya sebesar 20 puluh ribu. Sesuai kemampuanku. Mudaha-mudahan Si biru
ini bisa mengurangi kekuranganku. Jauh dari maki...
Celotehan Perempuan itu kembali menampar
ingatanku. Bagaimana mimik wajahnya yang memuakkan, lidahnya yang tajam tiada
rasa ber-tenggang. Aku sungguh tersayat. Hati teriris pedih mendalam di lapisan lubuk terdalam.
Apakah aku datang ke tempat itu
hanya menjadi target caci bermaki?
...Menembus
Langit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar