BAB 52: MENUJU PUNCAK



Rasa kantuk ini sungguh tak tertahan. Sudah berhari aku tak enak makan tak nyenyak tidur. Makan bersayur serasa tak bergaram, tidur terpejam pikiran menerawang. Berhari sudah aku tersiksa. Bagai menuruni gunung menggendong karung berisi kayu tonggak untuk di bakar menjadi arang. Di jual ke kota berkeliling pasar mengharap pembeli dengan harga tinggi. Sungguh sangat mengiba mengelus dada.
Sepertinya malam inilah pembalasan dendamku. Berharap tidur terlelap puas. Tiada pengganggu mengusik mimpiku. Mimipi memakai seragam berdasi, terbungkus setelan jass bersenyum lebar beraroma wangi mengucap salam “Welcome aboard. ABC sebelah kiri dan DEF sebelah kanan.” Sangat membanggakan. Aku sudah tak sabar menuju kesana.

Keesokan harinya aku sudah tiba di kantorku. Tidur semalam sangatlah puas tak terkira. Aku sungguh segar dan penuh ceria pagi ini. Menatap langit begitu cerah, burung berkicau bernyanyi indah. Alunan musik lagu kenangan koes plus bersaudara mendayu di pos jaga security kantorku ini, semakin memantabkan hati untuk jangan bersedih hati.

Reff : “Buat apa susah buat apa susah, lebih baik kita bergembira.Kekasihku apa yang kau pikirkan. Hidup ini hanya sementara. Tak usahlah kau bersedih hati. Percayalah …..sayang.“

Sepuntung rokok di apit bibir hitam tebal beratapkan si kumis lebat. Sang Satpam memejam mata menghirup segelas kopi hangat mengepul asap terbawa angin yang sekilas menampar hidungku untuk mengendus aroma. Yahhh. Aroma kopi yang sangat khas. Di bawa oleh sebuah kapal yang berapi-api.

Setelah sedikit berdandan diri, segera ku menuju sebuah ujung sudut. Menunggu para sahabatku. Hari ini adalah hari keberangkatanku menuju puncak untuk mendapatkan materi membangun kepribadian. Sebuah bis besar sudah menunggu di ujung parkiran. Bis biru berlogo burung berwarna biru. Yahh si burung biru. Terlihat seperti bis yang terawat bermotto 4M. Mengkilat, megah, mewah dan pastinya Mahal. BerAc dengan layar TV besarmenggantung di bagian depan. Kursi empuk melebihi empuk bantalku. Jauh sekali dengan bis Patas 22 yang setia menemani perjalananku. Ruangan berAS yaitu Angin Saja yang berhembus langsung dari sisi jendela tanpa kaca yang habis terpecah belah karena tawuranku. Kursi plastik keras seperti batu. Tak ada TV yang tergantung. Hanya puluhan stiker menempel acak mengacak di setiap sudut atas, “Ku tunggu jandamulah, awas copetlah, maju kena mundur kenalah dan lain sebagainya.”

Setelah menunggu, akhirnya satu persatu sahabatku tiba. Ratih berlari kecil ke arahku setelah melihat sosokku. Begitu juga Arif, Imam, Rendra, bagus ,djarot, wacik,ridho dan nordin. Mereka semua menghampiriku. Terbentuklah sebuah diskusi yang menarik dan penuh canda tawa. Setelah semua terkumpul, kamipun segera menaiki Bus dan bergerak menuju puncak. Bus gagah ini terus melaju di atas jalan tak berhambat dengan cepat. Di sepanjang perjalanan kami berpanjang cerita. Ada yang membaca, tertidur, main catur sampai autis mendengarkan musik sendiri. Telinga tertutup bulatan besar. Bergeleng-geleng kepala menikmati musik kesukaannya.

“Yok kalau ga keberatan, coba dong nyanyi sambil main gitar. Aku mau tahu gaya nyanyimu dulu pada saat ngamen.Please yaaa hibur kita.” Entah ada angin apa. Ilma memintaku untuk menyanyi layaknya aku menjadi pengamen dulu.

“Perhatian-perhatian. Sesaat lagi kita semua akan di hibur oleh salah satu sahabat kita yang hampir hilang. Setelah berhari kita di buatnya bersedih kehilangan, kini dia kembali lagi di tengah kita. Beri tepuk tangan yang meriah buat Priyooooo.” Kampret si Imam. Di undangnya aku ke depan seperti sebuah artis terkenal. Suara tepukan teriakan dan suit-suitan membahana di dalam bis ini setelah sebelumnya semua sibuk dengan obrolannya masing masing. Kini semua mata terjuju padaku. Ku kalungkan strap gitar ini. Memetik beberapa senar untuk menselaraskan nada.

“Selamat pagi para penumpang sekalian. Maaf mengganggu perjalanan anda semua. Izinkan saya yang hina ini untuk menyanyikan sebuah lagu karya saya sendiri. Lagu tentang seorang pria yang menyadari kekasihnya perlahan menjaga jarak dan berniat pergi untuk ke lain hati. Jangan biarkan aku begini.”

“Lagi-lagi…’’ Suara teriakan yang kompak dan tepukan meriah menghiasi akhir laguku sekaligus di mintanya aku bernyanyi lagi.

“Nyai nyai nyai….” Teriakan Ilma sangat histeris. Antusias sekali dia ingin aku menyanyikan lagu nyai. Cinta sabun mandi. Tak menunggu lama akupun mendendangkan lagu Jaja miharja ini. Semua bernyanyi bersama, berjoget, memukul gallon sebagai gendang pengiring. Sungguh suasana yang meriah dan sangat penuh ceria. Apalagi si wicak juga ikut menyumbang lagu cut- cutannya.
Udara dingin bercampur kabut. Bis ini berkelok menaiki bebukitan. Hamparan kebun teh nan hijau terbentang tiada ujung. Berpuluh orang membawa keranjang bercaping besar memetik daun hijau cikal bakal para minuman cangkir yang tersaji hangat ketika pagi menjelang. Beragam jajanan terpajang bergelantungan di sisi jalan. Membuat lidah berkecap ingin merasai nikmatnya sebuah singkong nan terpendam berhari bercampur ragi menjadi lunak siap di saji.

Kamipun sampai di ketibaan. Memasuki sebuah area luas. Berjejer bangunan teduh mengisyaratkan ketenangan dalam berhuni. Tiada polusi, tak ada bising jalan,hanya cecuitan burung kecil beterbangan bebas tanpa tembakan menghantui. Damai tenang dan nyaman sekali tempat ini. Di tuntunlah kami menuju jejeran kamar berbaris rapih tertata apik. Akupun memasuki sebuah kamar yang di peruntukkan untukku. Pintu ku buka, aku terpana. Seisi kamar ini sungguh tak terkira ku bayang. Sebuah ranjang besar terselimuti kain putih, berbantal putih berguling putih. Di sebelah kiri meja rias terpampang kaca besar. Sebelah kanan dua sofa unik bermeja bulat berwarna coklat. Kamar mandi berkeramik putih berkaca besar bercloset duduk berwarna putih. Berbak air lebar dengan tirai transparan. Ini sebuah kolam bak mandi mini. Berendam berbungkus busa, memejam mata memanja diri. Segera ku hempaskan tubuh ini di atas ranjang indah. Terbaring lega penuh tenang. Kutatap langit kamar tiada sarang lelaba bergelayutan. Tak ada cecak berlarian berkejaran. Mereka takut mengotorinya dengan telapak berdebu berbekas tanah liat. Semua terlihat terawat rapih dan bersih.Akupun memejamkan mata. Menjiwai suasana yang mewah ini untuk merasakan nikmatnya hidup di tempat nan nyaman. Baru saja aku ingin terlelap ke alam mimpi, tiba-tiba saja tiga jablay lanang wicak, novan dan ridho memasuki kamarku mengagetkanku.

“Wueeehhhhh..tidur aja kerjaan loe. Laki laki tuh pamali kalau tidur ga ada cewe telanjang di sampingnya. Ga sopan tau.“ Teriak nordin memecahkan telingaku. Membuatku tersentak dan beranjak dari ranjang.

“kampret kalian yeee.” Gumanku penuh gerundel.
“Ayo berenang yok. Kolamnya gede dan airnya dingin. Kali aja tar pesawat loe jatuh di laut. Makanya loe harus belajar berenang.” Ridho meledekku penuh mistis. Mengandai kalau pesawatku jatuh.

“Taiiiiiiii loe. Amit-amit jabang bayi. Gua belum terbang lo dah doain yang jelek jelek.” Ucapku penuh jengkel sambil mengetok-ngetok kayu tiga kali tradisi jawa supaya apa yang di ucap tidak terjadi.

“Wis ayo berenang bareng. Kita senang-senang aja. Pusing aku 2 bulan training terus.” Wacik mengeluh penuh sesal.
Akhirnya kami bertigapun menuju kolam renang. Di sana ternyata sudah ramai para sahabatku bermain dengan air. Ratih terlihat melambai. Arif klepas-klepus dengan rokokknya di bawah payung besar. Ku hampiri dia dan langsung ku ambil sebatang rokok darinya. Maklum rojali. Rokok jarang beli. Bisanya minta terus. Aku dan Arif terus berbincang mengenai banyak hal. Mulai dari kelakuan anak-anak di kolam renang sampai mengenai training apa yang akan kita terima di tempat ini.
Obrolan kami terhenti tak kala kami mendengar teriakan keras dari kolam renang. Adalah wahyudi. Pria lembut sedikit kemayu ini tampak di gotong oleh nordin dan wacik dan akan di ceburkan ke kolam.

“Byuurrrrrrr…” Wahyudipun tercebur ke dalam kolam. Dan dia berteriak minta tolong.

“Tolong-tolong. Gua ga bisa berenang. Tolongin gua.“ Wahyudi terus meronta. Tangannya kecipak-kecipuk di kolam renang tanda tak bisa berenang. Semula beberapa teman mengira ini hanya akting belaka saja karena kesehariannya memang wahyudi ini jago berakting. Makin lama makin di cermati , sepertinya ini benar adanya tidak di buat-buat. Aku dan Arif saling bertatapan mata tanpa kata. Sepertinya kami sudah mempunyai ikatan bathin. Dalam hitugan detik. Aku dan Arif sama-sama membuka kaos, berlari dan melompat menukik ke kolam renang menyelamatkan wahyudi.

Ku tarik wahyudi ke pinggiran kolam. Ku angkat dan ku tidurkan telentang. Tersenggal-senggal nafasnya dan menangis-nangis sejadinya dia. Diapun segera bangun dan segera mengejar 3 jablai lanang yang menceburkannya. Alhasil terjadilah kejar-kejaran. Semua sahabatku tertawa ngakak melihat kejadian ini. Lucu melihat wahyudi tak bisa berenang. Lucu melihat wahyudi nangis termehek mehek. Lucu melihat kejar-kejaran antara 3 jablai lanang yang di kejar jablai jadi jadian……ihhh cap cus deh. Tintaaaa adinda.




Udara dingin bercampur kabut. Bis ini berkelok menaiki bebukitan. Hamparan kebun teh nan hijau terbentang tiada ujung. Berpuluh orang membawa keranjang bercaping besar memetik daun hijau cikal bakal para minuman cangkir yang tersaji hangat ketika pagi menjelang. Beragam jajanan terpajang bergelantungan di sisi jalan. Membuat lidah berkecap ingin merasai nikmatnya sebuah singkong nan terpendam berhari bercampur ragi menjadi lunak siap di saji.

…Menembus Langit…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar